Senin, 24 Mei 2010

EFEK BERDAKWAH MELALUI MEDIA TRADISIONAL

EFEK BERDAKWAH MELALUI MEDIA TRADISIONAL
(STUDY KOMPARASI KECERDASAN EMOSI ANTARA DOSEN, KARYAWAN DAN MAHASISWA YANG MENGIKUTI SENI KARAWITAN DENGAN YANG TIDAK MENGIKUTI DI FAKULTAS DAKWAH IAIN WALI SONGO SEMARANG)

A. Latar Belakang Masalah
Dakwah Islam pada dasarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, namun bentuk dan cara penyampaiannya berlainan, yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar. Dakwah dapat dilaksanakan dengan berbagi metode, seperti ceramah, diskusi, tanya jawab, keteladanan, karyawisata, rekayasa sosial, infiltrasi, lisan-haal, social presessure dan hikmah. Untuk menyampaikan pesan dakwah, seorang juru dakwah (da’i) dapat menggunakan berbagai macam media dakwah, baik itu media modern (media elektronika) maupun media tradisional (Azis, 2004 : 20)
Media tradisional dalam dakwah menggunakan berbagai macam seni pertunjukan yang dipentaskan di depan umum terutama sebagai sarana hiburan yang memiliki sifat komunikatif, seperti seni ketroprak, karawitan, wayang, seni teater dan sebagainya. Dengan demikian mempermudah bagi juru dakwah untuk menyampaikan dakwah dan juga agar mudah dipahami oleh sasaran dakwah (mad’u), maka sebaiknya dakwah dilakukan dengan menggunakan salah satu media yang ada. Hal ini untuk menyesuaikan keadaan masyarakat yang tidak sama, disatu sisi sudah modern di sisi lain masih tradisional. Oleh karena itu dalam berdakwah walaupun sudah menggunakan media modern namun tidak menghilangkan media tradisional yang masih digunakan dengan baik, sehingga dalam berdakwah penggunaan media tersebut dapat disesuaikn dengan keadaan masyarakat setempat. Oleh karena keadaan lingkungan masing-masing masyarakat tidak selalu sama, maka materinya juga harus bervariasi menyesuaikan keadaan dimana juru dakwah harus mencari masalah-masalah yang dihadapi dan sekaligus memikirkan pemecahannya yang nantinya menjadi bahan pembicaraan dalam berdakwah.
Seni merupakan media yang mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan dakwah Islam, karena media tersebut memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati pendengar maupun penontonnya. Hal ini dibuktikan dengan masuknya Umar bin Khatab ke dalam islam adalah karena bergetar hatinya mendengar keindahan seni dalam bahasa al-Qur’an yang dilantukan oleh adiknya. Demikian juga dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa dapat tersebar luas serta diterima oleh masyarakat karena para Wali Songo sebagi da’i menggunakan bentuk-bentuk seni dari budaya masyarakat setempat sebagai salah satu media dakwah pada waktu itu, yaitu media wayang dan gamelan (http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html).
Menurut Abdurrahman Al Baghdadi, definisi seni yaitu penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis) dan dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari/drama). Seni merupakan bentuk keindahan yang tampak nyata yang langsung dapat dinikmati oleh manusia.
Adapun pendekatan dan pengembangan dakwah yang digunakan oleh Walisongo yang sesuai dengan media dakwah setempat yang sedang digandrungi oleh masyarakat, yaitu melalui gamelan. Para wali melihat bahwa gamelan dengan lagu-lagu yang disyairkan sebagai media komunikasi dan interaksi yang mampu merubah pola pikir masyarakat. Kesenian gamelan kemudian dimodifikasi dan disesuaikan oleh para Wali dengan konteks dakwah atau di islamkan. Media tradisioanal yang ada disekitar masyarakat yang berupa wayang dan gamelan digunakan para wali untuk berdakwah sehingga membuat agama Islam dapat tersebar secara luas di Pulau Jawa. Dengan media tersebut materi dakwah mudah ditangkap oleh masyarakat yang awam karena pendekatan-pendekatn Walisongo yang konkrit dan realistis, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat (http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html).
Melihat kenyataan yang demikan maka kesenian memiliki peranan yang tepat guna sehingga dapat mengajak kepada khalayak untuk menikmati dan menjalankan isi yang terkandung didalamnya. Dalam konteks keilmuan dakwah yang digunakan Islam dengan metode kesenian adalah salah satunya dengan menggunakan lagu-lagu shalawat, rebana nasyid, pop dan gending-gending jawa dan lain-lain. Seni dapat digunakan sebagai media dakwah karena syair yang terpancar bernilai dakwah sehingga dikatakan bahwa seni sebagai media untuk berdakwah (http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html).
Kuntowijoyo mengemukakan bahwa kesenian yang merupakan ekspresi dari keislaman itu setidaknya mempunyai karakteristik Islam yang mencerminkan karakteristik dakwah Islam seperti: a). berfungsi sebagai ibadah, tazkiyah, dan tasbih, b). menjadi identitas kelompok, dan c). berfungsi sebagi syair). Syair dan musik yang ada dalam gamelan atau karawitan selain dapat dimanfaatkan untuk berdakwah juga dapat membuat pendengar dan pemainnya merasa lebih tenang dan tentram. (http://www.skripsizone.com/humaniora/dakwah)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Luthfi SF pada siswa SD di Solo menunjukkan bahwa musik salah satunya gending dalam gamelan dapat memberikan rangsangan untuk aspek perkembangan kognitif dan kecerdasan emosional serta mempertajam pikiran, kreativitas, memperbaiki konsentrasi dan ingatan. Roger Sperry dalam Siegel penemu teori neuron mengatakan bahwa neuron baru akan menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik sehingga neuron yang terpisah-pisah dapatitu bertautan dan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak, sehingga terjadi perpautan antara neuron otak kanan dan otak kiri. Proses mendengar musik merupakan salah satu bentuk komunikasi afektif dan memberikan pengalaman emosional. Emosi yang merupakan suatu pengalaman subyektif yang inherent terdapat pada setiap manusia. Untuk dapat merasakan dan menghayati sera mengevaluasi makna dari interaksi dengan lingkungan ternyata dapat dirangsang dan dioptimalkan perkembangannyamelaluimusik.(http://www.skripsizone.com/humaniora/dakwah)
DR. Anderson dan peneliti lainnya juga melihaat bagaimana kekerasan lirik musik, dalam sebuah studi yang melibatkan 2003 mahasiswa. Anderson menemukan bahwa kekerasan lirik lagu dengan peningkatan agresi terkait dengan pemikiran dan emosi dan ini adalah efek langsung yang terkait dengan kekerasan isi lirik (http: /bk. Stkip-Pontianak –web .com)
Musik digambarkan sebagai salah satu bentuk murni ekspresi emosi. Musik mengandung berbagai contour spacing, variasi insensitas dan modulasi bunyi yang luas, hal ini sesuai dengan komponen-komponen emosi manusia. Kepekaan akan rasa indah timbul melalui pengalaman yang dapat diperoleh dari menghayati musik. Kepekaan adalah unsur yang penting guna mengarahkan kepribadian dan meningkatkan kualitas hidup. Seseorang yang memiliki kepekaan tinggi atas perasaan mereka akan dapat mengambil keputusan secara mantap dan membentuk kepribadian yang tangguh. Kepekaan yang dimiliki oleh seorang individu merupakan bagian penting dari kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali diri yang merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri, suatu perasaan atau emosi itu muncul dan mampu mengenali emosinya sendiri apabila memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan yang sesungguhnya. Kecerdasan emosi menurut Goleman (2000: 45) merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, empati dan berdoa..
Seni karawitan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional jawa. Di laboratorium Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang seni karawitan merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dimiliki oleh divisi media tradisional dalam rangka pengembangan dakwah yang diikuti oleh dosen karyawan dan mahasiswa. Kegiatan ini sudah lama dilakukan oleh para dosen, karyawan dan mahasiswa untuk berdakwah. Melalui kegiatan seni karawitan ini peneliti ingin mengetahui pengaruh panembromo atau karawitan yang merupakan salah satu media dakwah tradisional terhadap kecerdasan emosi para dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti dan membandingkan dengan yang tidak mengikuti seni karawitan di Fakultas Dakwah.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana perbedaan kecerdasan emosi antara para dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti seni karawitan (penembromo) dengan yang tidak mengikuti seni karawitan panembromo di Fakultas Dakwah?

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbedaan Kecerdasan emosi antara dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti penembromo dan yang tidak mengikuti panembromo di Fakultas Dakwah

D. Kerangka Teoritik
1. Kecerdasan Emosi
a. Pengertian Kecerdasan Emosi
Sebelum membahas tentang kecerdasan emosional, perlu dipahami terlebih dahulu makna emosi. Akar kata emosi adalah kata lia molore yang artinya bergerak. Dari kata ini Segel mendefinisikan emosi dengan membebaskan diri dari kelumpuhan, motivasi untuk bertindak, dan semakin bergairah terhadap sesuatu (Segel, 2001: 13). Albin (1994: 9) mengartikan emosi sebagai perasaan tertentu yang bergejolak dan dialami seseorang serta berpengaruh terhadap kehidupan. Sementara menurut Goleman, emosi merupakan perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2000: 50).
Para pakar mendefinisikan kecerdasan emosional secara berbeda-beda. Salovey dan Mayer dalam McCormack (2006: 8-9) mendefinisikan Emosional Intelligent (EI) sebagai satu bentuk kecerdasan yang melibatkan kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi dirinya sendiri juga perasaan dan emosi orang lain, untuk membedakan diantaranya dan untuk menggunakan informasi ini dalam menentukan pikiran dan perilaku.
Lebih luas dari pengertian yang dikemukakan Salovey dan Mayer, Goleman (2000: 45) menyebut kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.
Hampir senada dengan pendapat Goleman di atas, Yudiani (2005: 62) mengartikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan dan mengelola emosi baik diri sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang lain, dan menggunakan secara efektif untuk memotivasi diri dan bertahan terhadap frustasi dan stres serta mengendalikan diri untuk mencapai hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan kerja. Sementara Suharsono (2003: 108) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan mengetahui diri sendiri yaitu mengetahui potensi-potensi dan kemampuan yang dimiliki, mengetahui kelemahan-kelemahan, perasaan dan emosi. Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat mendayagunakan, mengekspresikan dan mengkomunikasikan dengan orang lain. Lebih lanjut ditambahkan pula kemampuan untuk mengetahui visi dan tujuan hidup secara substansial merupakan bagian dari kecerdasan emosional.
Bila dikaitkan dengan ajaran Islam, Agustian (2000: 144) menyamakan istilah kecerdasan emosional dengan akhlak yang telah diajarkan Rasulullah SAW 15 abad lalu. Basori (2003: 99) menyatakan kecerdasan emosional dalam Islam dapat dikaitkan dengan ajaran-ajaran tentang : Pertama, pengendalian diri (hati) manusia dari nafs rendah (ghadabah) menuju nafs tinggi (muthmainah) yang lemah lembut dan halus. Kedua, Ajaran tentang pentingnya niat (motivasi) dalam melakukan amal ibadah karena sesungguhnya kualitas perbuatan diukur dari niat. Ketiga, memahami apa yang dirasakan orang lain. Melalui puasa misalnya selain menjalankan syariat juga mempunyai maksud berempati kepada orang lain yang kelaparan, menghargai orang lain yang lemah dan upaya pengendalian diri. Sedangkan tokoh muslim lainnya, Umar (2000: 47) memaknai kecerdasan emosional sebagai kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas emosional yang berpusat di jiwa. Sementara menurut Sukidi (2002: 66), emosi dalam spiritualitas Islam (Al-Qur’an) diasosiasikan dengan nafs. Kemudian kecerdasan emosional diartikan sebagai kemampuan mengendalikan nafs bahkan mengarahkannya menjadi nafs al marhmah (yaitu nafs yang mengandung kasih sayang).
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenal emosi diri sendiri dan orang lain serta menggunakannya untuk meraih kesuksesan dalam tingkat pribadi maupun dalam hubungan sosial.

b. Komponen Kecerdasan Emosional
Sejak awal kemunculannya, kecerdasan emosional seseorang merupakan sesuatu yang tidak bisa diukur sebagaimana IQ yang telah memiliki standar pengukuran seperti yang dirancang Binet (McCormark, 2006: 4). Meskipun demikian, pada setiap kajian kecerdasan emosional yang ditawarkan para ahli, mereka mencoba menyertakan pula komponen pembentuk kecerdasan emosional. Dengan adanya komponen ini maka berbagai upaya dikembangkan guna mengetahui EQ seseorang dengan berdasarkan komponen EQ yang ditawarkan para ahli tersebut.
Salovey dan Mayer dalam (Mc. Cormack, 2006: 4) secara khusus mengusulkan empat aspek dasar dari kecerdasan emosional yaitu pengenalan emosi, pemahaman emosi, pengaturan emosi dan penggunaan emosi. Sementara berdasarkan pada konsep kecerdasan emosional yang dikenalkan Gardner dan Salovey-Meyer, Goleman (2000:58) mengembangkan kecerdasan emosional dalam lima komponen yaitu
1) Mengenali emosi diri, yang berarti mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan (sedih, bahagia, marah, takut) dari waktu ke waktu dan memperhatikan suara hati dan menyesuaikan dengan perasaan saat pengambilan keputusan.
2) Mengelola emosi yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap secara pas. Mengelola emosi disini meliputi kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan kemurungan dan amarah serta mengetahui akibat-akibat yang timbul karena kegagalan mengelola emosi.
3) Memotivasi diri sendiri artinya menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kemampuan memotivasi diri sendiri ditunjukkan dengan optimisme (memiliki pengharapan yang kuat dalam hidup kendati mengalami halangan), berpikir positif (tidak terjebak dalam kecemasan atau depresi dalam menghadapi tantangan), menahan diri dari kepuasan dan menahan dorongan hati serta menyesuaikan diri untuk mencapai kinerja yang efektif.
4) Mengenali emosi orang lain (empati) artinya kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain, mampu membaca pesan nonverbal (gerak gerik, ekspresi wajah dan nada suara), mengetahui kebutuhan/membantu orang lain, dan tidak melakukan perbuatan amoral.
5) Membangun hubungan artinya kemampuan mengelola emosi orang lain yang berkaitan kepemimpinan (kemampuan memprakarsai, mengkordinasi serta upaya menggerakkan orang lain serta kemampuan mempengaruhi orang lain), mampu mendeteksi dan mempunyai pemahaman perasaan dan motif orang lain, merundingkan permasalahan mediator yang mencegah konflik atau menyelesaikan masalah dan kemampuan menentramkan emosi yang membebani orang lain (Goleman, 2000: 58-9).
Stein dan Book (2000: 33-4) menjelaskan secara detail teori kecerdasan emosional yang dicetuskan oleh Bar-On. Kecerdasan emosional menurut Bar-On terdiri dari lima belas kemampuan pokok yang menunjukkan kecerdasan emosional seseorang. Dari lima belas kemampuan tersebut dibagi dalam lima ranah, yaitu :
1) Ranah intarpribadi (kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan, dan aktualisasi diri)
2) Ranah antarpribadi (empati, tanggung jawab sosial dan hubungan antarpribadi).
3) Ranah penyesuain diri (uji realitas, sikap fleksibel dan pemecahan masalah).
4) Ranah pengendalian stres (ketahanan menaggung stres dan pengendalian impuls)
5) Ranah suasana hati (optimisme dan kebahagian).
Suharsono (2002: 108-9) menyebutkan komponen kecerdasan emosional meliputi bagaimana mengenali kelebihan dan kelemahan diri, mempunyai tujuan hidup yang jelas, pengendalian diri, kemampuan mengelola ide dan konsep, membangun jaringan dan bekerjasama. Dengan cara agak berbeda yaitu dengan berdasarkan ajaran-ajaran Islam, Agustian (2000: 199) menyebutkan komponen kecerdasan emosional sebagai berikut konsisten (istiqomah), kerendahan hati (tawadhu), berusaha dan berserah diri (tawakkal), ketulusan (ikhlas), keseimbangan (tawazun), totalitas (kaffah), penyempurnaan (ihsan) dan integritas.
Berdasarkan komponen kecerdasan emosional yang telah dijelaskan, maka indikator kecerdasan emosional dalam penelitian ini mengacu pada komponen kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa Goleman merupakan tokoh yang telah mempopulerkan EQ. Di samping itu, kecerdasan emosional Goleman telah banyak dijadikan rujukan pengukuran penelitian pada semua sampel. Sehingga tepat kiranya apabila digunakan pula pada subjek penelitian dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Wali Songo Semarang.

2. Dakwah dan Seni Karawitan (Panembromo)
a. Pengertian Dakwah
Secara terminologi, para ahli berbeda-beda dalam memberikan pengertian tentang dakwah islam. Ada yang mengartikan bahwa dakwah merupakan transformasi sosial atau perubahan sosial yang didasarkan kepada nilai –nilai normatifitas Islam dan bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi sosial dan individual yang selaras, serasi dan sejalan dengan nilai – nilai Islam.Dan ada juga yang mengartikan dakwah secara normatif yakni mengajak manusia ke jalan kebaikan dan petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhiray. ( Abdul Basit, 2006: 27)
Ibnu Taimiyyah mengartikan dakwah sebagai proses usaha untuk mengajak masyarakat ( mad’u ) untuk beriman kepada Allah dan Rosul-Nya sekaligus mentaati apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya itu. Sementara Abdul Munir Mulkhan mengartikan dakwah sebagai usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat, sedangkan Ali Mahfudh mendefinisikan dakwah sebagai upaya memotifasi ummat manusia untuk melaksanakan kebaikan, mengikuti petunjuk serta memerintah mereka berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan pengertian tersebut maka dakwah secara essensial bukan hanya berarti usaha mangajak ( mad’u ) untuk beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan Rosul-Nya, jadi dakwah dipahami sebagai seruan ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan kebenaran ajaran Islam yang hakiki. ( Ilyas Supena, 2007:105-108)
Sulthon (2003: 8-9) memberikan klasifikasi pemahaman pakar Islam mengenai dakwah misalnya (1) dakwah adalah usaha yang mengarah untuk memperbaiki suasana kehidupan yang lebih baik dan layak sesuai dengan kehendak dan tuntunan yang benar, (2) Dakwah adalah usaha membuka konfrontasi keyakinan ditengah manusia, membuka kemungkinan bagi kemanusiaan untuk menetapkan pilihannya sendiri, (3) Dakwah Islam adalah dakwah kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi - pribadi didalam hubungan antar manusia dan sikap prilaku antar manusia, (4) Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka didunia dan akhirat, (5) Dakwah merupakan suatu proses usaha untuk mengajak agar orang beriman kepada Allah, percaya dan mentaati apa yang telah diberitakan oleh Rosul serta mengajak agar dalam menyembah kepada Allah seakan-akan melihatnya, (6) Dakwah adalah usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun Masyarakat. (7) Dakwah adalah gerakan untuk merealisasikan undang-undang ( Ihya al-nidham ) Allah yang telah menurunkan kapada nabi Muhammad SAW. (8) Dakwah adalah mendorong ( memotifasi ) Ummat manusia agar melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. (9) Dakwah adalah setiap usaha atau aktifitas dengan lisan atau tulisan dan lainnya, yang bersifat menyeru , mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah s.w.t sesuai dengan garis –garis aqidah dan syariah serta akhlaq Islamiyah.



b. Metode Dakwah
Metode berasal dari bahasa Latin Methodus yang berarti cara. Dalam bahasa Yunani, methodus berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa Inggris method diartikan dengan metode atau cara. Kata metode telah menjadi bahasa indonesia yang memiliki pengertian suatu cara yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencara sistem, teta pikir manusia.
Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam menyampaikan pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, suatu kesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dan memakai metode sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah. Dalam tafsir yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi terhadap ayat 125 surat an-Nahl yang berisikan perintah dari Allah Swt tentang metode dakwah. Dari ayat tersebut secara garis besar ada tiga pokok metode (thariqah) dakwah, yaitu (Aziz, 136):
1). Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitik beratkan pada kemampuan mad’u, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya tidak merasa terpaksa atau keberatan.
2). Mauidhaah Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajran-ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga nasihah dan ajaran islam yang disampaikan itu dapat menyentuh hati masyarakat.
3). Mujadalah, yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula dengan menjalankan yang menjadi sasaran dakwah.
Menurut Basit (2006: 69) ada metode lain yang dapat digunakan dalam berdakwah yaitu metode nafsiyah. Metode ini tujuannya untuk mengontrol perilaku diri sendiri dalam menjalankan tugas dan peran kemanusainnya. Untuk melakukan kontrol ini maka seorang individu perlu melakukan dakwah terhadap dirinya sendiri (dakwah nafsiyah). Selain tujuan di atas dakwah nafsiyah bertujuan agar individu yang menyatakan diri sebagai muslim senantiasa dapat meningkatkan keimanan yang dimilikinya menjadi lebih baik dan meningkat.
Sukriadi Sambas, salah seorang pioner yang memperkenalkan istilah dakwah nafsiyah, mengatakan bahwa dakwah nafsiah secara leksikal adalah mengajak diri sendiri atau mendakwahi diri sendiri oleh dirinya sendiri. Sedangkan secara istilah merupakan proses internalisasi ajaran islam pada tingkat intra internalisasi muslim dalam memfungsikan fitrah diniyahnya yang ditujukan dalam perilku keagamaan yang sesuai dengan syariat islam yang bersumber dari tuntunan al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Dari uraian dan definisi dakwah nafsiyah tersebut di atas satu hal yang mesti dicatat adalah bahwa prasyarat terjadinya dakwah nafsiyah adalah individu-individu yang telah memiliki pehaman keislaman.
Ada tiga metode yang dapat digunakan dalam dakwah nafsiyah yang dikembangkan oleh Al-Ghazali dan Ibnul Qoyim Al-Jauzi:
1). Wiqayatunnafs, artinya memelihari diri dari segala perbuatan yang dapat merusak amal yang telah dilakukan seperti iri, dengki, ria dan penyakit hati lainnya.
2). Muhasabatunnafs, artinya intropeksi diri dari kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri sendiri sehingga dengan cara itu dapt bertindak secara proporsional dan bijak.
3). Tathwirunnafs, artinya pengembangan diri menjadi yang terbaik dan bermanfaat bagi orang lain. Umat islam dalam menjalankan hidupnya tidak hanya berjalan secara alamiah melainkan perlu melakukan desaindan perencanaan strategis dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya.
Ketiga metode dakwah bin nafsik di atas memiliki kesamaan dengan indikator-indikator orang yang memiliki kecerdasan emosi seperti menyadari emosi diri sendiri, mengelola emosi, mengenali emosi orang lain, memotivasi diri sendiri dan membina hubungan dengan orang lain
Dalam penelitian ini, metode dakwah yang digunakan adalah metode bil hikmah dan metode nafsiyah yaitu dengan melaui media tradisional seni karawitan. Penggunanan metode nafsiyah melalui media tradisonal dalam penelitian adalah untuk mengetahui efek berdakwah bagi para anggota seni karawitan itu sendiri yang berkaitan dengan kecerdasan emosinya.



c. Pengertian Media (Wasilah) Dakwah
Media dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad’u. Untuk menyampaikan ajaran Isalam kepada umat, dakwah dapat menggunakan wasilah. Hamzah Ya’qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu:
1). Lisan; merupakan wasilah dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, lagu, musik dan sebagainya.
2). Tulisan; merupakan wasilah dakwah yang menggunakan buku, majalah, surat kabar, surat menyurat, spanduk dan sebagainya.
3). Lukisan; merupakan wasilah dakwah yang menggunakan gambar, karikatur dan sebagainya.
4). Audio Visual; merupakan wasilah dakwah yang merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, televisi, film, slide, internet dan sebagainya.
5). Akhlak; merupakan wasilah dakwah dengan menggunakan perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad’u.
Dari segi sifatnya, media dahwah dibagi menjadi dua golongan, yaitu;
1). Media tradisional, yaitu berbagai macam seni pertunjukan yang secara tradisional dipentaskan didepan umum (khlayak) terutama sebagai sarana hiburan yang memiliki sifat komunikatif, seperti wayang, ludruk, drama, ketoprak, karawitan, panembromo dan sebagainya. Terdapat kecenderungan bahwa media komunikasi tradisional mulai ditinggalkan. Padahal kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa media tradisional, khususnya khotbah, pengajian dan kesenian masih cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Oleh karenanya, kecakapan penggunaan media tradisional masih perlu ditangani oleh salah satu kompartemen di Laboratorium Dakwah.
2). Media Modern disebut juga sebagai media elektronika, yaitu media yang dilahirkan dari teknologi modern. Yang termasuk media modern ini antara lain televisi, radio, pers dan sebagainya.
Ada lebih dari 500 macam media tradisional di seluruh Indonesia sebagai pertunmjukan rakyat, namun tidak semua nedia tersebut digubnakn sebagai wadsilah dakwah. Untuk pemilikan media tradional sebagai wasilah dakwah harus dipertimbangkan beberapa aspek sebgai berikut;
1). Aspek Efektifitas
2). Aspek dengan kesesuaian dengan masyrakat setempat
3). Aspek legaklitas dari sudut pandang ajaran Islam.
Berdasarkan realita yang ada di masyarakat kita, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki beranerka ragam budaya dan tentunya media tradisonal juga. Hal ini dapat kita jadikan rujukan mengapa para Wali Songo menggunakan media tradisonal sebagai media dakwah dalam menyampaikan pesan dakwah.


d. Panembromo atau Karawitan
Seni musik karawitan merupakan salah satu musik tradisional. Kata musik, atau sanggita dalam bahasa Sangsekerta memiliki tiga aspek. Pertama adalah bahasa (menyanyi), kedua bermain dan ketiga adalah gerakan (menari). Ketiganya digabungkan dalam setiap tindakan ( Hazrat Inayat Khan, 2006:14). Ketika musik masyarakat timur berkembang, ketiga aspek ini juga berkembang. Banyak orang di dunia yang menganggap musik sebagai sumber kesenangan.
Grace Sudargo, seorang pendidik dan musisi mengatakan dasar-dasar musik klasik secara umum berasal dari denyut nadi manusia sehingga ia berperan dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter bahkan raga manusia. Senada dengan Sudargo, Ev Andreas Crystanday dalam suatu ceramah musiknya mengatakan bahwa musik sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Musik memiliki tiga bagian penting , yaitu beat, rytme dan harmoni. Beat mempengaruhi tubuh, rytme mempengaruhi jiwa dan harmoni mempengaruhi roh. Musik yang baik bagi kehidupan manusia adalah musik yang seimbang antara beat, ritme dan harmoni. (http//www/ 88DB.com)
Karawitan yang merupakan salah satu musik tradisional jawa berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain, gamelan Jawa dalam perkembangannya juga mengalami perubahan-perubahan. Perubahan terjadi pada cara pembuatanya, sedangkan perkembangannya menyangkut kualitasnya.
Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini, siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk dalam kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001). Gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira 72 alat dan dapat dimainkan oleh niyaga (penabuh) dengan disertai 10 – 15 pesinden dan atau gerong. Susunannya terutama terdiri dari alat-alat pukul atau tetabuhan yang terbuat dari logam. Alat-alat lainnya berupa kendang, rebab (alat gesek), gambang yaitu sejenis xylophon dengan bilah-bilahnya dari kayu, dan alat berdawai kawat yang dipetik bernama siter atau celepung. Gamelan Jawa mempunyai tanggapan yang luar biasa di dunia internasional. Saat ini telah banyak diadakan pentas seni gamelan di berbagai negara Eropa dan memperoleh tanggapan yang sangat bagus dari masyarakat di sana. Bahkan sekolah-sekolah di luar negeri yang memasukan seni gamelan sebagai salah satu musik pilihan untuk dipelajari oleh para pelajarnya juga tidak sedikit. Tapi ironisnya di negeri sendiri masih banyak orang yang menyangsikan masa depan gamelan. Terutama para pemuda yang cenderung lebih tertarik pada musik-musik luar yang memiliki instrumen serba canggih. Dari sini diperlukan suatu upaya untuk menarik minat masyarakat kepada kesenian tradisional yang menjadi warisan budaya bangsa tersebut. Salah satunya adalah dengan adanya pertunjukan karawitan yang dimainkan oleh para dosen, karyawan dan mahasiswa di fakultas Dakwah dalam rangka pengembangan media tradisonal dalam berdakwah

e. Efek Dakwah (Atsar)
Efek berdakwah atau atsar berasal dari bahasa Arabyang berartti bekasan, sisa atau tanda. Atsar atau efek sering disebut dengan feedbeack (umpan balik) dari proses dakwah ini seringkali dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i. Kebanyakan da’i menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan maka selesailah dakwah. Padahal atsal sanagt besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya dengan menganalisis atsar dakwah secara cermat dan tepat maka kesalahan strategi dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya. Demikian juga strategi dakwah termasuk di dalam penentuan unsur-unsur dakwah yang dianggap baik dapat ditingkatkan.
Efek dakwah yang diharapkan dalam upaya untuk mencapai tujuan dakwah, maka kegiatan dakwah selalu di arakhan untuk mempengaruhi tiga aspek perubahan diri, yaitu perubahan pada aspek pengetahuan atau knowledge, aspek sikap dan aspek prilaku. (Azis, 2004:138-9)
Berkenaan dengan ketiga hal tersebut di atas, Djalaluddin Rahmat menyatakan bahwa:
1. Efek kognitif
Terjadi jika ada perubahan pada apa yng dikettahu, dipahami atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, ketrampilan kepercayaan atau informasi.
2. Efek afektif
Timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak yang meliputi segala yang berhubungan dengan emosi, sikap serta nilai.
3. Efek Behavioral
Merujuk pada prilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola-pola tindakan kegiatan atau kebiasaan berprilaku (Aziz, 2004:140).

E. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: Ada perbedaan kecerdasan emosi antara dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti panembromo dan yang tidak mengikuti panembromo.

F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian : Penelitian kuantitatif
2. Identifikasi Variabel Penelitian
a. Variabel Independen : 1). Mengikuti Panembromo
2). Tidak Mengikuti Panembromo
b. Variabel Dependen : Kecerdasan Emosi

3. Definisi Operasional Variabel Penelitian
a. Panembromo atau karawitan
Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.
b. Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengenal emosi diri sendiri dan orang lain serta menggunakannya untuk meraih kesuksesan dalam tingkat pribadi maupun dalam hubungan sosial. Goleman (2000:58) mengembangkan kecerdasan emosional dalam lima komponen yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan membina hubungan.
1). Mengenali emosi diri, yang berarti mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan (sedih, bahagia, marah, takut) dari waktu ke waktu dan memperhatikan suara hati dan menyesuaikan dengan perasaan saat pengambilan keputusan.
2). Mengelola emosi yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap secara pas. Mengelola emosi disini meliputi kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan kemurungan dan amarah serta mengetahui akibat-akibat yang timbul karena kegagalan mengelola emosi. .
3). Memotivasi diri sendiri artinya menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kemampuan memotivasi diri sendiri ditunjukkan dengan optimisme (memiliki pengharapan yang kuat dalam hidup kendati mengalami halangan), berpikir positif (tidak terjebak dalam kecemasan atau depresi dalam menghadapi tantangan), menahan diri dari kepuasan dan menahan dorongan hati serta menyesuaikan diri untuk mencapai kinerja yang efektif.
4). Mengenali emosi orang lain (empati) artinya kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain, mampu membaca pesan nonverbal (gerak gerik, ekspresi wajah dan nada suara), mengetahui kebutuhan/membantu orang lain, dan tidak melakukan perbuatan amoral.
5). Membangun hubungan artinya kemampuan mengelola emosi orang lain yang berkaitan kepemimpinan (kemampuan memprakarsai, mengkordinasi serta upaya menggerakkan orang lain serta kemampuan mempengaruhi orang lain), mampu mendeteksi dan mempunyai pemahaman perasaan dan motif orang lain, merundingkan permasalahan mediator yang mencegah konflik atau menyelesaikan masalah dan kemampuan menentramkan emosi yang membebani orang lain (Goleman, 2000: 58-9). Kecerdasan emosi ini diungkap dengan melalui skala yang disusun berdasarkan kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Goleman. Semakin tinggi skor total jawaban subyek dalam skala tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki oleh subyek

4. Populasi Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah para dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo yang mengikuti kegiatan panembromo dan yang tidak mengikuti kegiatan panembromo. Jumlah yang mengikuti panembromo 40 orang dan yang tidak mengikuti juga 40 orang.


5. Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan angket dan wawancara. Wawancara dilakukan kepada para dosen, karyawan, dan mahasiswa yang mengikuti panembromo. Metode yang kedua adalah angket. Angket dalam penelitian ini diberikan kepada dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti panembromo dan yang yang tidak mengikuti panembromo. Penggunaan metode angket ini dianggap mempunyai keuntungan sebagi pengumpul data yang baik. Menurut Hadi (1989) angket dapat menjadi alat pengumpul data yang baik karena anggapan peneliti dalam menggunakan metode ini adalah:
a. Subyek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri
b. Apa yang dinyatakan subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya
c. Interpretasi subyek tentang pertanyaan yang diajukan adalah sama dengan yang dimaksudkan oleh peneliti
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecerdasan emosi. Skala disusun berdasarkan konsep kecerdasan emosi yang dibuat oleh Goleman (2000), yang terdiri dari lima komponen yakni: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membangun hubungan. Skala kecerdasan emosi dalam penelitian ini, menggunakan model skala Likert yang terdiri dari 5 alternatif jawaban, yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Ragu-ragu (R),Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Dalam skala ini ada 2 item pernyataan yaitu Favourable dan Unfavourable. Skor setiap item skala kecerdasan emosi berkisar antara 1 sampai 5 .Makin tinggi skor yang diperoleh subyek, makin tinggi kecerdasan emosinya. Sebaliknya makin rendah skor yang diperoleh subyek, makin rendah pula kecerdasan emosinya. Untuk mempermudah dalam prenyusunan skala kecerdasan emosi maka terlebih dahulu dibuat tabel kisi-kisi item skala kecerdasan emosi



Kisi – Kisi Item Skala Kecerdasan Emosi
Jumlah Item Nomor Item Indikator No
Unfavourable Favourable
12 6,16,26,36,46,56 1,11,21,31,41,51 Mengenali Emosi Diri 1
12 7,17,27,37,47,57 2,12,22,32,42,52 Mengelola Emosi 2
12 8,18,28,38,48,58 3,13,23,33,43,53 Memotivasi Diri Sendiri 3
12 9,19,29,39,49,59 4,14,24,34,44,54 Mengenali Emosi Orang Lain 4
12 10,20,30,40,50,60 5,15,25,35,45,55 Membangun Hubungan 5
60 30 30 Jumlah


6. Analisis Data.
Teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah t test dengan SPSS for Windows 12 dan analisis deskriptif.

G. Sistematika Pembahasan
BAB. I : Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
D. Landasan teori
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan


BAB. II : Landasan teori
A. Dakwah dan Seni Karawitan
1. Pengertian Dakwah
2. Unsur-unsur Dakwah
3. Metode Dakwah
4. Media Dakwah
5. Efek Dakwah
B. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
2. Komponen Kecerdasan Emosi
C. Hipotesis

BAB. III : Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Variabel Penelitian
3. Definisi Operasional Variabel Penelitian
4. Populasi Penelitian
5. Teknik Pengambilan Data
6. Analisis Data
BAB. IV : Pembahasan Hasil Penelitian
1. Dekripsi Data
2. Urain hasil uji hipotesis

BAB. V : Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran-saran

H. PENUTUP
Demikian proposal penelitian ini kami ajukan untuk mendapatkan bantuan DIPA PNBP IAIN Wali Songo Semarang Tahun 2009.





Semarang, 03 Juni 2009
Tim Peneliti
Ketua


Dra. Hj. Umul Baroroh, M.Ag
















DAFTAR PUSTAKA
Ali Aziz,Mohammad. 2004. Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media
Agustian, Ary Ginanjar, 2002. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual ESQ Berdasarkan Rukun Islam dan Rukun Iman, Jakarta: Arga
Basit, Abdul, 2006. Wacana Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Basori, Rohman, 2003. “ Konsep Emosional Intelligence dalam Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal Study Islam, Vol. 3 No 1 Februari 2003, Program Paska Sarjana IAIN Wali Songo Semarang.
Goleman. D. 2000. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Utama
Hadi, Sutrisno, 1991. Metodologi Research, Jilid II, Yogyakarta: Andi Ofset
Hazrat Inayat Khan, 2002. Dimensi Mistik,Yogyakarta: Pustaka Sufi Musik dan Bunyi:14).
Mc. Cormack, Martin, 2006 Ukurlah EQ anda terj. Bahrul Umam, Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Moh. Zuhri, “Visi, Missi dan Arah Kerja Alumni Fakultas Dakwah” (makalah), disampaikan pada Sarasehan Nasional Dekan Fakultas Dakwah IAIN se-Indonesia, di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, tanggal 6-7 September 2002.
Said Tuhulele, “Format, Tata Kerja dan Eksistensi Laboratorium Dakwah dalam Perspektif Perguruan Tinggi” (makalah), disampaikan dalam Lokakarya Nasional Rekonstruksi Kurikulum Program Studi dan Pemberdayaan Laboratorium Dakwah Fakultas IAIN Menuju Realitas Akademik dan Profesi, Semarang, 24-28 Januari 2000
Sanwar, M Aminuddin, Ilmu Dakwah, Jakarta: Gunung Agung (Proses Cetak Penerbit)
Segel, Jeanne, 2000. Meningkatkan Kecerdasan Emosional Pedoman Praktis Program uNtuk Memperkuat Naluri dan Emosi anda, terj, Dian Paramesti Baha, jakarta: Citra Aksara.
Suharsono, 2002. Melejitkan IQ, IE, IS, Jakarta: Inisiasi Press
Sukidi, 2002. Kecerdasan Spiritual Mengapa SQ Lebih Penting Daripada IQ dan EQ, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sulthon, Muhammad, 2003. Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Supena, Ilyas 2007, Filsafat Ilmu Dakwah Perspektif Filsafat Ilmu Sosial
Stein, Steven J dan Book, Howord E, 2003.Ledakan EQ 15 Kecerdasan Emosional Meraih Sukses, Bandung: Kaifa (2000: 33-4)
Umar, Nasaruddin, 2000. Kecerdasn Spiritual dalam Qur’an, Jurnal Ilmiah maddina Vol. 4 No. 5 Desember, Bengkulu
Yudiani, Ema, 2005. Hubungan Kecerdasan Emosi dan Masa Kerja dengan Penjualan Adaptif, dalam Psikologika Nomor 19 tahun X Januari 2005
http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html
http://www.skripsizone.com/humaniora/dakwah
http: //bk. Stkip-Pontianak –web .com
http://www/ 88DB.com

Pendidikan Keluarga

Kegiatan dan proses pendidikan dapat terjadi dalam tiga lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga lingkungan ini harus bekerja sama dan saling mendukung untuk hasil yang maksimal dalam membentuk kepribadian seorang anak yang baik dan sholeh.
Lingkungan pertama yang punya peran adalah lingkungan keluarga, disinilah anak dilahirkan,di rawat dan dibesarkan. Disinilah proses pendidikan berawal, orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak. Orang tua adalah guru agama, bahasa dan sosial pertama bagi anak, kenapa demikian? Karena orang tua (ayah) adalah orang yang pertama kali melafazdkan adzan dan iqomah ditelinga anak di awal kelahirannya. Orang tua adalah orang yang pertama kali mengajarkan anak berbahasa dengan mengajari anak mengucapkan kata ayah, ibu, nenek, kakek dan anggota keluarga lainnya. Orang tua adalah orang yang pertama mengajarkan anak bersosial dengan lingkungan sekitarnya.
Orang tua, ibu khususnya karena seorang ibu yang biasanya punya banyak waktu bersama anak dirumah, bisa menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya, jika seorang ibu mampu mengarahkan, membimbing dan mengembangkan fitrah dan potensi anak secara maksimal pada tahun-tahun pertama kelahiran anak dimana anak belum disentuh oleh lingkungan lain, dalam artian anak masih suci.
Masa-masa anak hanya berinteraksi dengan anggota keluarga, ini adalah saat yang tepat bagi orang tua untuk membentuk karakter seorang anak. Orang tualah yang mengarahkan kehidupan anak dengan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dirumah yang merupakan teladan bagi anak.
Disadari atau tidak oleh orang tua, gerak gerik dan tingkah laku mereka sehari-hari yang setiap waktu bahkan setiap saat dilihat, dirasakan dan di dengar oleh anak adalah proses belajar bagi mereka.
Kalau materi yang sering diterima anak baik, sebuah keluarga yang harmonis, hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang, secara otomatis unsur-unsur kebaikan itu akan tertransfer kedalam diri anak, disaat itu bisa dikatakan orang tua telah berhasil menjadi seorang guru yang bagi anaknya. Namun jika materi yang sering diterima anak tidak baik, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perhatian dan kasih sayang yang kurang karena orang tua sibuk dengan urusan masing-masing, ucapan-ucapan yang tidak baik, disaat itu orang tua telah gagal menjadi guru pertama dan utama bagi anak.
Proses kehidupan dalam sebuah keluarga adalah proses belajar pertama bagi anak sebelum mereka hidup dalam lingkungan yang lebih luas yaitu sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu seharusnya setiap orang tua harus mampu memanfaatkan masa-masa ini untuk mengembangkan potensi anak untuk membentuk pribadi yang sempurna.
Setiap oarng tua selalu mengatakan dan berharap punya anak yang baik dan sholeh. Jadi untuk mewujudkan keinginan dan harapan itu, jadilah orang tua sekaligus guru bagi anak dirumah, dengan menyajikan materi-materi yang mereka butuhkan yaitu suasana yang tenang tanpa pertengkaran dan kekerasan, kasih sayang dan perhatian yang cukup dari sosok seorang ibu dan ayah (jadilah ayah dan ibu ideal bagi anak-anak anda).
Selanjutnya agar fitrah dan potensi anak semakin berkembang dan terarah, yang mungkin dalam hal ini orang tua punya keterbatasan, anak mendapatkan bimbingan dan arahan dari guru disekolah sebagai lembaga pendidikan secara formal. Disini anak di didik dan dibimbing oleh seorang guru, dan anak berinteraksi dengan teman sebaya.
Di sekolah terlihat hasil dari pola asuh orang tua dirumah sebelum anak terjun kelingkungan sekolah. Ada anak yang baik dan punya sopan santun, dan ada juga yang terbiasa berkata tidak sopan dan banyak lagi macam karakter-karakter anak yang lain. Semua model karakter anak tersebut adalah hasil dari didikan orang tua dirumah.
Sesuatu yang ditanamkan dan dibiasakan oleh orang tua sebagai dasar karakter anak itulah yang kelihatan dalam diri anak pada tahap berikutnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa terlihat ketika anak-anak berkumpul dan bergabung jadi satu dengan anak-anak lainnya, disanalah terlihat bermacam-macam kepribadian dan karakter mereka.
Tugas guru disini membantu orang tua untuk membimbing dan mengembangkan potensi anak agar lebih terarah. Sekali lagi sifatnya hanya membantu, semaksimal apapun usaha yang dilakukan seorang guru tanpa bantuan dari orang tua hasilnya sia-sia. Karena waktu guru bersama anak dan orang tua bersama anak berbanding 25% dan 75%. Anak lebih kurang hanya punya waktu 25% perhari bersama guru disekolah, sisanya 75% lagi anak menghabiskan waktu bersama orang tua dirumah. Lagi pula saat anak berada disekolah, seorang guru tidak akan mampu memperhatikan anak didiknya satu persatu yang kadang jumlahnya melebihi kapasitas, dan dalam masalah ini guru tidak punya wewenang apa-apa, guru hanya menjalankan tugas mengajar dan menjadi seorang pendidik.
Intinya walaupun anak sudah diserahkan ke sekolah bukan berarti urusan pendidikan anak adalah tanggung jawab sekolah dan orang tua lepas tangan dan melalaikan pendidikan anak. Yang harus dilakukan adalah orang tua menjalin kerja sama dan komunikasi yang baik dengan pihak sekolah atau guru, agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam mendidik anak.
Setelah orang tua dibantu oleh guru disekolah, selanjutnya anak akan masuk pada lingkungan sosial yaitu masyarakat. Kematangan anak untuk masuk pada lingkungan masyarakat tidak terlepas dari peran orang tua. Tentunya orang tua telah mempersiapkan anaknya untuk memasuki lingkungan masayarakat, disekolah juga anak telah belajar hidup bersosial dengan adanya interaksi antara anak yang satu dengan yang lainnya. Pelajaran yang diperoleh anak dari orang tua dan guru menjadi bekal bagi anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
Tugas lingkungan masyarakat adalah memelihara dan melestarikan apa yang sudah dimiliki anak, dengan cara menciptakan lingkungan masyarakat yang sehat dan bebas dari penyimpangan-penyimpangan yang bisa merusak jiwa anak. Usaha ini masih titik awalnya berasal dari setiap orang tua, karena masyarakat itu merupakan gabungan dari satu keluarga dengan keluarga lainnya. Apabila setiap orang tua yang ada disatu lingkungan yang disebut masyarakat sudah melaksanakan kewajiban, tugas dan tanggung jawab masing-masing pada anaknya niscaya akan tercipta lingkungan yang baik dan sehat selanjutnya anak juga akan berkembang dengan baik dan sempurna.
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa titik awal dari pembentukan kepribadian seorang anak dan masayarakat adalah orang tua. Seandainya setiap orang tua menyadari tugas dan tanggung jawabnya serta mampu menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, mungkin akan terlahir generasi muda yang punya kepribadian tangguh dan anak-anak sholeh.

EXISTENSI AGAMA DALAM KELUARGA (Menyimak Peran Orang Tua Terhadap Pendidikan Agama di limgkungan Kelurga)

EXISTENSI AGAMA DALAM KELUARGA
(Menyimak Peran Orang Tua Terhadap Pendidikan Agama di limgkungan Kelurga)
Oleh Suprihatiningsih, S.Ag, M.Si.**
A. Pendahuluan
Al-din al-nashihah (agama itu adalah nasihat) demikian sabda Nabi SAW . Semakin kuat keberagamaan seseorang, semakin kuat dan jelas pula nasihatnya. Sebaliknya, semakin lemah keberagamaan dan keyakinan seseorang semakin berkuranglah peringatan dan ansihat yang disampaikannya.
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural) selalu menyertai dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang perorang maupun dalam berhubungan dengan masyarakat luas. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari.
Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious conciousness), tidaklah tumbuh secara kebetulan, tetapi melalui proses yang panjang. Walaupun setiap anak dilahirkan kedunia ini dalam keadaan fitrah, artinya manusia lahir membawa fitrah beragama dan potensi berbuat baik, namun fitrah dan potensi yang sudah ada semenjak dilahirkan itu tidak akan berkembang secara optimal tanpa adanya pemeliharaan dan bimbingan.
Bimbingan untuk pengembangan fitrah dan potensi yang masih berupa bibit atau benih itu dapat melalui proses pendidikan. Seorang anak harus dipandu dan diarahkan agar mereka tidak menyimpang dari fitrah dan potensinya yang sudah mereka bawa semenjak lahir dengan memberikan pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh, adalah pendidikan dalam keluarga. Apabila di lingkuangan kelurga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit untuk memperoleh kesadaran agama (religious conciousness), yang memadai
Pada makalah ini penulis akan membahas tentang existensi agama dalam keluarga ( peran orang tua terhadap pendidikan agama di lingkungan keluarga). Menurut pandangan penulis keeksisan sebuah agama dalam keluarga tergantung dari bagaimana peran orang tua yang diajarkan orang tua. Dalam makalah ini pengertian pendidikan tidak dibatasi oleh institusi ( lembaga) lapangan pendidikan tertentu. Pendidikan diartikan dalam ruang lingkup yang luas, yaitu upaya sadar yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki tangung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta pengarahan potensi yang dumiliki anak. Yang dimaksud bertangung jawab dalam pengertin ini adalah kedua orang tua.
Disadari atau tidak oleh orang tua, gerak gerik dan tingkah laku mereka sehari-hari yang setiap waktu bahkan setiap saat dilihat, dirasakan dan di dengar oleh anak adalah proses belajar bagi mereka.
Kalau materi yang sering diterima anak baik, sebuah keluarga yang harmonis, hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang, secara otomatis unsur-unsur kebaikan itu akan tertransfer kedalam diri anak, disaat itu bisa dikatakan orang tua telah berhasil menjadi seorang guru yang bagi anaknya. Namun jika materi yang sering diterima anak tidak baik, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perhatian dan kasih sayang yang kurang karena orang tua sibuk dengan urusan masing-masing, ucapan-ucapan yang tidak baik, disaat itu orang tua telah gagal menjadi guru pertama dan utama bagi anak.
Pengertian pendidikan agama dalam keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit social terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Kenapa keluarga? Karena keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

B. Terminologi Keluarga
Keluarga dalam bahasa Arab adalah al-Usroh secara etimologis mampunyai arti ikatan. Kata keluarga dapat diartikan sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau sebuah tempat di mana seseorang memperoleh nilai-nilai agama, norma-norma social, internalisasi norma-norma, terbentuknya frame of reference, behaviorisme, dan lain-lain. Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat merupakan lingkungan budaya pertama dan utama dalam rangka menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Pengalaman- pengalaman seseorang dalam berinteraksi di dalam keluarganya turut menentukan cara-cara bertingkah laku terhadap orang lain dalam pergaulan social di luar keluarganya. Apabila interaksi social di dalam keluarga tidak lancar atau tidak wajar, maka kemungkinan besar interaksi social dengan dengan masyarakat pada umumnya juga berlangsung dengan tidak wajar.
Pada tingkatan masa anak-anak seorang individu hanya berinteraksi dengan anggota keluarga, ini adalah saat yang tepat bagi orang tua untuk membentuk karakter seorang anak. Orang tualah yang mengarahkan kehidupan anak dengan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dirumah yang merupakan teladan bagi anak.
Adapun jenis-jenis hubungan keluarga sebagaimana dijelaskan oleh Robert R. Bell dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. kerabat dekat ( conventional kin)
Kerabat dekat terdiri atas individu yang terkait dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, seperti suami istri, orang tua- anak, dan antar saudara (siblings)
2. Kerabat jauh (discretionary)
Kerabat jauh terdiri atas individu yang terkait dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, tetapi ikatan kelurganya lebih lemah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh terkadang tidak menyadari akan adanya hungan keluarga tersebut. Hungan yang terjadi di antara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri dari Paman-bibi, keponakan dan sepupu
3. Orang yang dianggap kerabat (fictive kin)
Seorang diangap anggota kerabat karena ada hungan yang khusus, misalnya hubungan anta teman akrab
Dalam norma sosial, asal-usul keluarga terbentuk dari perkawinan. Asal-usul ini erat kaitannya dengan aturan Islam bahwa dalam upaya pengembang-biakan keturunan manusia, hendaklah dilakukan dengan perkawinan. Oleh sebab itu, pembentukan keluarga di luar peraturan perkawinan dianggap sebagai perbuatan dosa.
C. Agama Dalam Kehidupan Individu
Para pakar bahasa Indonesia berbeda pendapat tentang kata ‘agama’. Apakah ia terambil dari gabungan kata a yang berarti ‘tidak’ dan gama yang bertai kacau. Atau diambil dari bahasa Indo-Germania yang berarti “jalan menuju syurga”. Tapi, yang jelas al-Qur’an menamai agama dengan din. Dalam kamus Besar Bahasa indonesis , agama diartikan sebagai, kepercayaan kepada Tuhan (Allah, dewa, dan lain sebagainya) denagn ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Agama sering dipahami sebagai hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan yang diyakininya, sehingga dengan demikian terjadi subtyektifitas pada diri masing-masing agama dan penganutnya.
Abdul Karim Al-Khatib, seorang ahli agama Islam, menegaskan bahwa agama adalah hubungan pribadi antara seseorang denagn Tuhan yang dipercayai, diandalkan serta diyakininya menguasai masa kini dan masanya, hidup dan matinya, dan yang kepadaNya manusia mengabdi. Lain halnya dengan John Locke yang mengatakan bahwa beragama adalah individual. “Mustahil seseorang akan menjadi saya percaya, kalau jiwa saya tidak percaya”
Terlepas dari apa yang dikemukakan oleh Abdul Karim Al-Khatib dan John Locke yang jelas manusia sering disebut sebagai homo religius (makhluk beragama). Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk yang beragama. Potensi yang dimiliki manusia ini secara umum disebut sebagai fitrah keagamaan, yaitu berupa kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh dari luar dirinya. Pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaaan, latihan, pendidikan dan sebaginya yang secars umum disebut sosialisasi. Dalam sebuah keluarga orang yang memiliki peran sebagai agen sosialisasi ini adalah orang tua.
Agama dalam kehiduupan individu berfungsi sebagai system nilai yang memuat norma-norma tertentu menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakian agama yang dianutnya. Sebagai sitem nilai agama mempunyai arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dapat dipertahankan sebagai bentuk cirri khas.
Menurut Mc Guire, diri manusia memiliki bentuk system nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem nilai ini salah satunya dipengaruhi oleh keluarga.
Dalam diri manusia terdapat system nilai tertentu. Sistem nilai ini dianggap sesuatu yang bermakna bagi dirinya. Sistem ini dibentuk melalui belajar dan sosialisasi dari keluarga kemudian meresap dalam diri seorang individu. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi system yang menyatu dan membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana seorang individu bersikap dan berpenampilan. Menurut Pandangan Mc Guire, yang membentuk system nilai dalam diri individu adalah agama.
Dilihat dari fungi dan peran agama dalam memberikan pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk system nilai, motivasi maupun pedoman hidup, maka pengaruh yang paling penting adalah sebagai pembentuk kata hati (conscience). Kata hati menurut Erich Fromm Panggilan kembali manusia pada dirinya. Erich Fromm membagi kata hati menjadi dua , yaitu kata hati otoritarian dan kata hati humanistic.
Pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindungi, rasa suxes dan rasa puas. Persaan poisitif ini lebih lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agama dalam kehidupan individu selain menjadi motivasi dan nilai etik juga merupakan harapan.
Agama berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsure kesucuan serta ketaatan. Ketrkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Agama juga dapat berfungsi sebagai nilai etik karena dalam melakukan suatu tindakan terikat kepada ketentuan anatara mana yang tidak boleh dan mana yang tidak boleh menurut agama yang dianutnya.
Sebaliknya agama juga sebagai pemberi harapan bagi pelakunya. SEseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adanya suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang ghaib.
Sebagai motivasi, agama mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban. Sebagai Nilai etik, agama mendorong seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji, menjaga amanat dan lain-lain. Dan Sebagai harapan, agama mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas, menerima cobaan yang berat ataupun berdo’a. Sikap seperti itu akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber dari keyakinan terhadap agama.


D. Peran orang tua terhadap pendidikan agama dalam keluarga
Peran keluarga (orang tua) dalam mendidik anak-anaknya merupakan suatu hal yang tidak bisa diabaikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan kelurga. Sejak dari bangun tidur hingga saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga. Penanaman kesadaran beragama dalam sebuah kelurga harus dimulai dari pembentukan system nilai yang bersumber dari niali-nilai ajaran agama.
Adapun pembentukan system nilai ini tergantung dari perlakuan yang diberikan orang tua dan ketersedian lingkungan agama yang mendukung. Secara konkrit dapat digambarkan, bahwa untuk menanamkan nilai ibadat orang tua harus mencontohkan sikap dan prilaku ketaan beragama. Pembentukan system nilai akan kurang berpengaruh bila tidak disertai dengan keteladanan dan contoh. Anak-anak selalu belajar dari perlakuan orang tua terhadap dirinya. Menurut Rasulullah, fungsi dan peran orang tua mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Walaupun anak yang baru dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaann dan pengaruih kedua orang tua mereka.

Setiap orang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada anak-anaknya tentang seluk beluk kehidupan ini. Kewajiban ini sebagai bagian dari peran social orang tua. Kewajiban orang tua pada proses sosialisasi nilai keagaman dan norma-norma social ini adalah untuk membentuk kepribadian anak-anaknya. Apa yang dilakukan orang tua pada anak dimasa awal pertumbuhannya sangat menentukan kepribadian anak-anaknya tersebut. Self anak terbentuk dan berkembang melaui interaksi dengan significant othersnya yaitu orang tua dan anggota keluarga lainya, orang tualah yang mejadi role model bagi seorang anak dalam membentuk kepribadinya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Erich Fromm yang menjelaskan bahwa adanya hubungan antara pembentukan nilai-nilai kepribadian dengan nilsi-nilsi moral keagamaan.. Mereka yang hidup dilingkungan keluarga yang taat serta berhungan dengan orang-orang taat beragama, akan memberikan pengaruh dalam pembentukan karakternya. Sebaliknya mereka yang asing dengan lingkungan yang seperti itu akan sulit untuk mengenal nilai-nilai keagamaan.
Kegiatan dan proses pendidikan dapat terjadi dalam tiga lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga lingkungan ini harus bekerja sama dan saling mendukung untuk hasil yang maksimal dalam membentuk kepribadian seorang anak yang baik dan sholeh.
Lingkungan pertama yang punya peran adalah lingkungan keluarga, disinilah anak dilahirkan, dirawat dan dibesarkan. Pendidikan in formal dalam keluarga akan banyak membantu dalam meletakan dasar pembentukan kepribadian anak. Misalnya sikap religius, disiplin, lemah lembut, rapi, rajin, sopan, dan sbagainya dapat tumbuh, bersemi dan berkembang sesuai dengan kebiasaanya dirumahDisinilah proses pendidikan berawal, orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak. Orang tua adalah guru agama, bahasa dan sosial pertama bagi anak, kenapa demikian? Karena orang tua (ayah) adalah orang yang pertama kali melafazdkan adzan dan iqomah ditelinga anak di awal kelahirannya. Orang tua adalah orang yang pertama kali mengajarkan anak berbahasa dengan mengajari anak mengucapkan kata ayah, ibu, nenek, kakek dan anggota keluarga lainnya. Orang tua adalah orang yang pertama mengajarkan anak bersosial dengan lingkungan sekitarnya.
Orang tua, ibu khususnya karena seorang ibu yang biasanya punya banyak waktu bersama anak dirumah, bisa menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya, jika seorang ibu mampu mengarahkan, membimbing dan mengembangkan fitrah dan potensi anak secara maksimal pada tahun-tahun pertama kelahiran anak dimana anak belum disentuh oleh lingkungan lain, dalam artian anak masih suci.
Salah satu unsur dari proses pendidikan adalah pendidik. Di pundak terletak tanggung jawab yang besar. Hal ini disebabkan karena pendidkan merupakan cultural transition yang bersifat dinamis kearah suatu perubahan secara kontiniu, sebagai sarana vital dan membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia.
Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohanipeserta didik adalah kedua orang. Islam memerintahkan kedua orang tua untuk medidik diri dan keluarganya, terutama anak-anaknya.
Titik awal dari pembentukan kepribadian seorang anak dan masayarakat adalah orang tua. Seandainya setiap orang tua menyadari tugas dan tanggung jawabnya serta mampu menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, mungkin akan terlahir generasi muda yang punya kepribadian tangguh dan anak-anak sholeh.
Proses kehidupan dalam sebuah keluarga adalah proses belajar pertama bagi anak sebelum mereka hidup dalam lingkungan yang lebih luas yaitu sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu seharusnya setiap orang tua harus mampu memanfaatkan masa-masa ini untuk mengembangkan potensi anak untuk membentuk pribadi yang sempurna.
Di sekolah terlihat hasil dari pola asuh orang tua dirumah sebelum anak terjun kelingkungan sekolah. Ada anak yang baik dan punya sopan santun, dan ada juga yang terbiasa berkata tidak sopan dan banyak lagi macam karakter-karakter anak yang lain. Semua model karakter anak tersebut adalah hasil dari didikan orang tua dirumah.
Sesuatu yang ditanamkan dan dibiasakan oleh orang tua sebagai dasar karakter anak itulah yang kelihatan dalam diri anak pada tahap berikutnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa terlihat ketika anak-anak berkumpul dan bergabung jadi satu dengan anak-anak lainnya, disanalah terlihat bermacam-macam kepribadian dan karakter mereka.
Secara garis besar peran orang tua terhadap pendidikan agama dilingkungan keluarga mengacu dan berorientasi kepada frman allah dalam surat Luqman ayat 12-19, nasihat Luqman kepada anak-anaknya yaitu:
وَلَقَدْ اتَيْنَالُقْمنَ الحَكِْمَةَ اَنِاشْكُرِْللهِ وَمَنْ يَشْكُرْفَاِنَّمَايَشْكُرْلِنَفْسِه وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللهَ غَنِيٌ حَمِيْدٌ. (12). وَاِذْ قَالَ لُقْمنُ لاِبْنِه وَهُوَ يَعِظُه يبُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ. (13). وَوَصَّيْنَااْلاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ اُمُّه وَهْنًاعَلى وَهْنٍ وَّفِصلُه فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَ اِلَيَ اْلمَصِيْرُ. (14). وَاِنْ جَاهَدكَ عَلى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلمً فَلاَتُطِعْهُمَاوَصَاحِبْهُمَافِىالذُنْيَا مَعْرُوْفًاوَّتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِئُكُمْ بِمَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْن. (15). يبُنَيَّ اِنَّهَااِنْ تَكُ مِثْفَالَ حَبَةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِىالسَّموتِ اَوْفِى الاَرْضِ يَأْتِ بِهَااللهُ, اِنَّ اللهَ لَطِيْفٌخَبِيْرٌ. (16). يبُنَيَّ اَقِمِ الصَلوةَ وَأْمُرُ بِاْلمَعْرُفِ وَانْهَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَاضْبِرْ عَلى مَآاََصَبَكَ, اِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِاْلاُمُرٍ. (17). وَلاَتُصَعِر خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَتَمْشِ فِىاْلاَرْضِ مَرَحًاو اِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ. (18). وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ اِنَّ اَنْكَرَ اْلاَصْوَاتِ لَصَوْتُ اْلحَمِيْرِ. (19).
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur; maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (12). Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya. Di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (13). Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (14) Dan jika keduanya untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu. Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15). Luqman (berkata): “Hai anakku sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (16). Hai Anakku dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (17). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (18). Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai. (19).
Menarik disimak bahwa pengajaran ini diabadikan Al-Qur’an setelah dalam ayat sebelumnya al-Qur’an menegaskan bahwa sebagain dari hikmah yang dianugerahkan kepada luqman itu adalah perintah untuk bersyukur atas nikmatNya. Tentu saja nikmat tersebut adalah anak, dan mansyukuri kehadiran anak adalah dengan mendidiknya.
Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik (mempersekutukan Allah). Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran aqidah-tauhid. Mengingat keluarga dalam hal ini orang tua lebih dominan dalam mendidik anak, maka pendidikan dasar yang harus diberikan orang tua kepada seorang anak adalah dengan memberikan pengetahuan dasar-dasar keimanan (aqidah- tauhid) dan ke-Islaman. al-Ghazali memberikan beberapa metode dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan dengan cara memberikan hafalan. Sebab kita tahu bahwa proses pemahaman diawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi).
Ketika mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diayakini. Inilah proses yang dialami anak pada umumnya.
Setelah kewajiban pokok yang berkaitan dengan Allah, maka disusul dengan kewajiban untuk berbakti kepada orang tua , khususnya kepada ibu. Yang menarik dari kedua pesan di atas adalah keduanya disertai dengan argumentasi yang dapat dibuktikan oleh manusia melalui penalaran akalnya yang dianjurkan Al-qur’an pada saat dia mengemukakan materi tersebut.
Materi yang ketiga adalah perintah shalat dan mengerjakan yang ma’ruf. Yang dimaksud dengan yang ma’ruf adalah segala sesuatu yang diakui oleh adapt sitiadat masyarakat sebagai hal yang baik selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai aqidah dan syuari’ah.
Akhirnya nasihat luqman ditutup dengan kewajiban bersikap lemah lembut terhadap orang lain, sopan dalam berjalan dan berbicara. Pendidikan agama dalam keluarga dilaksanakan melalui contoh dan teladan (uswatun hasanah) dari orang tua. Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antara ibu dengan bapak, antara orang tua dengan anak, kakak dengan adik dan adik dengan kakak, sangat mempengaruhi prilaku anak dalam masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock menyatakan bahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat dijadikan teladan ataupun idola bagi mereka.
E. Kesimpulan
Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga itu penting sekali artinya dengan berorientasi kepada firman Allah SWT dalam surat Al Luqman ayat 12 s/d 19, sebab pendidikan di lingkungan keluarga itu adalah pendidikan pertama dan yang utama, bisa memberi warna dan corak kepribadian anak seandainya orang tua tidak menyempatkan diri untuk mendidik anak-anaknya di keluarga sehingga terabaikan begitu saja karena kesibukan orang tua. Maka hal ini akan membawa pengaruh yang tidak baik terhadap kesaran beragama (religious conciousness) anak.
Demikianlah makalah ini penulis akhiri mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Penulis yakin bahwah makalah ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis.

Strategi Dakwah Kultural

Strategi Dakwah Kultural
Menyadari perkembangan dakwah Persyarikatan yang cenderung stagnan, Muhammadiyah merasa perlu mengubah metode dan strategi berdakwah dengan lebih mengakomodasi kultur. Dengan menekankan metode dan strategi dakwah yang bercorak kultural, Muhammadiyah menginginkan agar adat, tradisi, dan budaya lokal dipelajari, dikuasai, dan dijadikan wawasan sebagai bekal berdakwah. Namun demikian, bukan berarti warga Muhammadiyah harus larut dalam adat, tradisi, dan budaya lokal, yang mungkin saja dapat menghilangkan daya kekritisannya. Sebab, betapapun Muhammadiyah harus tetap memberikan sikap yang tegas terhadap budaya lokal.
Berkaitan dengan sikap Muhammadiyah terhadap adat, tradisi, dan budaya lokal, kiranya KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dapat dijadikan teladan. Seperti diketahui, KH Ahmad Dahlan telah bersikap sangat tegas sekaligus akomodatif terhadap budaya lokal. Misalnya, beliau telah meluruskan arah kiblat Masjid Keraton Yogyakarta, mengadakan shalat ‘idain (‘id fitri dan ‘id adlha) di lapangan terbuka, penyampaian khutbah dengan bahasa lokal, dan membentuk badan amil zakat yang sebelumnya merupakan hak prerogatif kyai. Justru karena ketegasan beliau dalam meluruskan pemahaman agama disertai pengembangan berbagai amal usaha itulah, Muhammadiyah telah berkembang pesat. Pada konteks inilah, tampaknya dakwah kultural Muhammadiyah harus dipahami sebagai upaya untuk mengubah budaya lokal, khususnya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, menjadi kultur yang sarat dengan nilai-nilai Islam.
Strategi dakwah kultural Muhammadiyah menuntut adanya kreativitas warganya ketika berhadapan dengan adat, tradisi, dan budaya lokal. Di sinilah arti penting pemahaman yang komprehensif bagi warga Muhammadiyah terhadap ajaran Islam mengenai seni dan budaya. Sebab, rasa seni sebagai penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah swt yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai jiwa ajaran Islam. Berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Tarjih ke-22 tahun 1995 telah ditetapkan bahwa karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (bahaya), ‘ishyan (kedurhakaan), dan ba‘id ‘anillah (terjauhkan dari Allah). Dengan ketentuan tersebut berarti warga Muhammadiyah semestinya tidak boleh anti pati terhadap budaya lokal.
Dakwah kultural Muhammadiyah juga harus menempatkan kelompok abangan, sinkretis, tradisionalis, dan modernis sebagai sasaran dakwah. Muhammadiyah harus menganggap kelompok-kelompok tersebut sebagai capaian keberagamaan seseorang. Keberagamaan (derajat ke-Islaman) seseorang harus dipandang sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai karena melibatkan pergumulan ideologi, sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dengan demikian, kelompok abangan dapat dipandang sebagai komunitas yang sedang berproses menjadi Muslim sejati. Karena itulah misi dakwah Islam harus disajikan menurut takaran kelompok keberagamaan di masyarakat (bi qadri ‘uqulihim). Dakwah juga harus dikemas dengan taysir (mudah) dan tabsyir (menggembirakan). Jika dakwah yag dilakukan mubaligh Muhammadiyah dikembangan dengan cara tersebut, maka dengan sendirinya Muhammadiyah akan dapat menjadi rumah bagi siapa pun. Dengan kata lain, Muhammadiyah akan dapat menjadi tenda besar bagi kelompok abangan, sinkretis, dan tradisionalis. Selama ini kelompok-kelompok tersebut terasa kurang dapat menerima kemasan dakwah Muhammadiyah.

Prospek Dakwah Kultural
Dakwah kultural Muhammadiyah, seperti dikatakan Ahmad Syafii Maarif, dimaksudkan agar dakwah Muhammadiyah lebih lentur dan fleksibel. Itu artinya, bahwa selama ini Muhammadiyah memang sudah mengakomodasi budaya lokal, hanya saja pada tingkat tertentu dirasakan masih kurang serius. Apalagi Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dikenal memiliki amal usaha yang sangat banyak. Tentu saja, berbagai amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah tersebut akan dapat dijadikan sebagai media berdakwah.
Namun demikian, optimisme beberapa kalangan terhadap prospek dakwah kultural harus juga disertai rasa kewaspadaan terhadap beberapa persoalan yang mungkin dapat menghambat. Beberapa hal yang kira-kira dapat dijadikan hambatan pengembangan dan implementasi dakwah kultural adalah; pertama, selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial-keagamaan yang sangat puritan dengan menempatkan motto kembali kepada al-Quran dan Hadits.
Tentu saja, dalam sudut pandang dakwah kultural, motto tersebut mungkin akan diartikulasikan secara berlebihan dalam memandang adat, tradisi, dan budaya lokal. Kedua, masih kuatnya resistensi di internal tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam menyikapi adat, tradisi, dan budaya lokal yang sinkretis. Dalam hal ini, secara jujur harus diakui bahwa di kalangan Muhammadiyah, tema dakwah menghapus TBC masih sangat dominan.
Di sinilah arti pentingnya dakwah kultural Muhammadiyah harus mampu menyajikan beragam model dakwah yang berbeda bagi setiap kelompok masyarakat. Model dakwah anti TBC barangkali sangat relevan bagi aktivis Muhammadiyah, namun dapat dipandang kurang cocok dengan kalangan Islam abangan dan sinkretis. Ketiga, sejauh ini Muhammadiyah belum memiliki media yang cukup memadai untuk mengembangkan dakwah kultural, khususnya yang berkaitan dengan seni dan budaya. Bahkan secara guyonan dapat dikatakan bahwa satu-satunya seni yang dimiliki Muhammadiyah adalah seni bela diri Tapak Suci.
Beberapa catatan tersebut tentu harus dicarikan solusi, jika Muhammadiyah berkeinginan mengimplementasikan gagasan dakwah kultural. Untuk memulai usaha tersebut kiranya diperlukan pedoman operasional yang dapat dijadikan rujukan warga persyarikatan. Di samping itu, juru dakwah (mubaligh) Muhammadiyah juga harus diberikan wawasan agar mampu melihat kultur dan budaya lokal dari sisi dalam (from within), bukan dari sisi luarnya.
Dengan perspektif semacam ini berarti mubaligh Muhammadiyah dapat terbebas dari beban psikologis jika harus menjadikan kultur dan budaya lokal sebagai media berdakwah. Jika usaha ini terus dikembangkan maka tidak tertutup kemungkinan lahir mubaligh Muhammadiyah yang lebih menekankan pentingnya kearifan lokal (local wisdom). Maka, menjadi menarik dilihat bagaimana Muhammadiyah dan warga persyarikatan mengkreasi gagasan dakwah kultural.*

DAKWAH PADA KELUARGA

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;...". (At-Tahriim: 6)
Hidayah itu datangnya adalah dari Allah Subhanahu wa Taala. Boleh jadi, anak mendapat hidayah lebih dahulu berbanding orang tua. Pergaulan dengan kawan-kawan di sekolah mahupun di universiti, mengenalkan sang anak kepada Islam, sehingga pemahaman dan wawasan agamanya melebihi orang tua. Jika tidak pandai mengelola hal ini, berkemungkinan akan timbul pertentangan antara anak dan orang tua.
Ada ikhwah yang ayah dan ibunya sudah dalam kondisi yang islami, tetapi ada pula ikhwah yang orang tuanya masih ammah(awam) dan sama sekali tidak faham tentang agama. Semuanya, tentu harus dikomunikasikan dengan baik, dengan berdialog dari hari ke hari. Seperti halnya kaderisasi(pembinaan) yang harus mengkader(membina) untuk mencetak generasi Rabbani, ada tahapan-tahapan. Ada proses. Perlu waktu.
Posisi kita dalam keluarga, terkadang juga mempengaruhi dawah kita. Bila kita anak sulung, dan memiliki adik-adik, terkadang suara kita lebih didengar. Lantas bagaimana bila kita anak bungsu, dan akhwat pula? Harus berdawah kepada yang lebih tua? Kakak-kakak? Di tengah lingkungan keluarga? Jangan sedih. Kedewasaan tidaklah diukur dari usia, tapi dari cara berfikirnya dan dari cara dia mengatasi masalah. Bukan begitu?
Berikut ini tips-tips yang boleh dilakukan untuk dawah keluarga. Kondisi setiap orang tua berbeza-beza, maka memang memerlukan analisa terlebih dahulu. Namun setidaknya ada point-point asas yang boleh kita terapkan bersama.
31 Tips Dawah Keluarga
1. Membantu orang tua
Bila tak ada pembantu, jangan malas untuk membantu orang tua. Karena ini kesempatan yang baik untuk pendekatan. Boleh dengan membantu mencuci pinggan, menyapu, menyiram, menyetrika, memasak, dan lain-lain.
2. Mendengarkan masalah dan beri penyelesaian yang Islami
Sabtu dan Minggu adalah waktu berkumpul keluarga. Banyak hal yang biasanya dibincangkan. Dan bila orang tua ada masalah, dengarkanlah masalah mereka dan beri penyelesaian yang Islami.
3. Disiplin saat menonton TV
Menonton TV jangan dianggap remeh. Apa jadinya bila aktivi kita ternyata masih suka menonton drama cinta, gossip dan lagu-lagu rock??? Selain tidak boleh dalam agama, pun akan menjadi penilaian tersendiri di mata orang tua. Anakku ini rupanya suka menonton cerita-cerita cinta (?)
4. Bangun pagi
Bangun lewat akan membawa gambaran yang kurang bagus. Apatah lagi aktivi, shalat subuh! ^ _ ^
5. Tersenyum
Selalu berwajah ceria, tidak masam, tentu akan membuat orang yang melihatnya pun menjadi ikut bahgia. Aktivi wajahnya tersenyum selalu. Kalaupun ada kesedihan, cukup sekadar simpan dalam hati.
6. Mendoakan di shalat malam
Meski kita berikhtiar siang dan malam, tetapi hidayah tetap hak Allah. Maka jangan lupa mendoakan mereka di setiap selesai shalat dan di setiap shalat malam kita.
7. Memberi buku Islam yang sesuai
Kalau kita lebih suka membaca Risalah Pergerakan, Perangkat-Perangkat Tarbiyah, tentu orang tua tidak sesuai dengan ini. Maka kita harus menyediakan buku-buku Islam yang sesuai pemahaman mereka. Misalnya untuk ibu, karena sudah ada keluarga, jadi yang lebih dominan dalam pemikirannya adalah tentang keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Kita boleh membelikan buku ini. Atau bila kakak kita ternyata sebentar lagi akan menikah, kita boleh mencadangkan buku pernikahan islami, atau tips memilih menantu, misalnya.. ehm ehm
8. Perpustakaan Islam di rumah
Bilik kita penuh buku-buku, wawasan kita menjadi luas. Tetapi keluarga kita tidak. Maka keluarkan buku-buku itu dan letakkan juga di perpustakaan keluarga. Atau bila belum ada perpustakaannya, kita buat sendiri dengan mencari ruangan yang boleh dilihat oleh seluruh ahli keluarga.
9. Hiasi rumah dengan suasana Islami
Simbol-simbol Islam terkadang perlu karena pengkondisian lingkungan adalah sebahagian dari dawah. Kita boleh membeli kaligrafi Islam, atau kabah, dst. Dan mengurangkan adanya patung-patung dan sejenisnya. Tentu hal ini disampaikan secara bertahap kepada keluarga kita.
10. Memainkan tilawah atau nasyid di rumah
Mengenalkan keluarga dengan lagu-lagu yang Islami, sebagai jalan alternatif hiburan. Ar Ruhul Jadid mungkin terdengar enak di telinga kita, tapi bagi orang yang belum faham, belum tentu. Sesekali memutarkan tak mengapa, tapi jangan setiap hari. Cuba putar juga kaset-kaset slow yang disukai oleh orang yang sudah berusia, misalnya nasyid OPICK, Raihan atau Bimbo.
11. Memancing dengan ceramah subuh
Kebiasaan harus ditanamkan. Mulailah dari diri kita dahulu.Selesai shalat subuh, kita menonton ceramah subuh. Orang tua pun pasti menjadi pendengar. Setiap hari, biasakan. Maka Anda akan melihat bahawa orang tua akan menutup TV sendiri, demi menonton ceramah subuh. Dari ceramah subuh yang rutin tersebut, automatik tak ubahnya seperti pengisian harian.
12. Sabar
Sabar dalam berdawah. Jangan pernah kenal henti. Sabar dalam tingkah laku juga. Sabar dengan adik-adik jika ada, tahan kemarahan.
13. Memberi teladan
Makan dengan sederhana, tidak suka ikut ghibah bila orang tua kita berghibah, pakaian sederhana saja dan pastikan bilik tidur sentiasa kemas.
14 Ajak orang tua shalat berjamaah
Shalat berjamaah akan memberi efek yang luar biasa bagi hati. Dalam shalat ini, orang tua menjadi imam, sehingga hubungan orang tua dan anak akan kian menjadi erat karena Allah.
15. Menceritakan aktiviti di universiti
Bila kita ikut program sekolah, cubalah tunjukkan foto-foto, laporan universiti, dan VCD aktiviti universiti. Dengan ini, orang tua tak khawatir apabila ada waktu kita sering di luar rumah.
16. Membawa kawan-kawan bersilaturahim ke rumah
Sesekali, ajak kawan-kawan ke rumah untuk bersilaturahim dengan keluarga kita. Orang tua akan lebih tenang hatinya bila mengetahui bahwa anaknya bergaul dengan kawan-kawan yang baik akhlaknya.
17. Menjadi sumber ilmu
Wawasan kita juga harus luas. Misalnya ketika tengah ada masalah keluarga, tentang warisan misalnya. Nah, kita bisa memberikan penyelesaian tentang hukum waris dalam Islam. Pun hukum-hukum lainnya, seperti pernikahan, zakat, dan lain-lain.
18. Persiapan menikah
Menikah bagi ikhwah tentu ada adab-adabnya. Maka jauh-jauh hari kita harus rajin membincangkan pernikahan Islami ini agar orang tua tidak terkejut. Boleh dengan cara menceritakan walimah Islami yang kita kunjungi atau bahkan mengajak mereka ke walimahan yang Islami. Pun kenalkanla apa itu ikhwan, akhwat.
19. Memperbanyak tilawah di rumah
Rumah yang banyak dibaca tilawah di dalamnya, niscaya akan membawa ketenangan dan keberkahan di dalam rumah.
20. Ramai sedikit tak mengapa
Apa maksudnya? Iya, misalnya ada isu-isu tentang teroris, perjuangan Palestin, dan lain-lain. Kita jadikan tema ini menjadi bahan pembicaraan dan jelaskan dari sudut pandang Islam. Karena tak jarang, keluarga kita juga termakan ghazwul fikri ini.
21. Membeli majalah Islam
Media yang ada di rumah, boleh kita meriahkan dengan majalah-majalah Islam. Ada majalah MAJALAHi, AL-ISLAM,SOLEHA,ANAMUSLIM, dll.
22. Kenalkan dengan yang sebaya
Orang tua juga memerlukan komuniti yang sebaya dengannya. Tidak beza jauh dengan kita saat di universiti, yang kita lebih selesa bila berbual dengan teman sebaya. Maka kita cari tetangga ataupun keluarga yang faham Islam dan kenalkan dengan orang tua. Kita gabungkan dengan mereka dalam dawah. Kakak dan adik kita pun demikian, kenalkan mereka dengan ikhwah di lingkungan mereka. Titip menitip tarbiyah antara ikhwah wa akhwat, sudah menjadi hal yang lumrah.
23. Lemah Lembut
Berdawah harus dengan lemah lembut. Karena boleh jadi hidayah itu tidak langsung turun, tetapi memerlukan proses.
24. Berdikari, dewasa, dan tidak bermasalah.
Kedewasaan bukanlah diukur dari usia. Karena sampai bilapun kita masih boleh bermanja-manja dengan orang tua. Yang terpenting, jangan sampai kita menjadi anak yang bermasalah.
25. Musholla(tempat solat) di rumah
Bila di rumah belum ada musholla, padahal ada ruang yang kosong, maka kita ajukan cadangan untuk membangun musholla di rumah.
26. Mengajak ikut Al Quran di dalam telefon
Orang tua sibuk bekerja? Kakak sibuk kuliah? Ajaklah untuk bergabung dengan software Al Quran dalam telefon bimbit sehingga dawah itu dapat tersampaikan dimana saja dan tanpa ada had masa.
27. Kirim artikel Islam melalui email
Selain itu, ada pula email-email Islam yang boleh kita kirimkan kepada orang tua, adik, dan kakak kita.
28. Alat-alat elektronik yang Islami
Komputer dan HP(telefon bimbit), boleh kita memasukkan hal yang berkaitan Islam, nasyid, properties Islam, dll.
29. Minta pendapatnya
Meminta pendapat orang tua adalah bentuk wujud hormat kita kepada mereka. Karena dengan demikian, orang tua akan merasa dihargai kedudukannya.
30. Cari pasangan yang boleh berdawah pula
Selama ini kita berdawah sendiri. Nah, bila akan dan sudah menikah, carilah pasangan yang sekiranya dapat diajak berdawah pula dengan keluarga kita. Maka dawah bisa menjadi kuat, dua kali lipat!
31. Mampu mencari nafkah
Untuk ikhwan, setelah habis SPM ada baiknya berpenghasilan(bekerja) meskipun sedikit. Untuk akhwat, bila belum berpenghasilan, jangan banyak meminta ini itu kepada orang tua. Meski orang tua kita mampu, bukankah kesederhanaan juga bagian dari perintah agama?
Jika semua tips di atas sudah kita lakukan, maka bersabarlah karena hidayah itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Taala dan ingat, Dia menilai proses, bukan hasil. Selamat berjuang ikhwah fillah.

SILABI MATAKULIAH SOSIOLOGI

SILABI MATAKULIAH SOSIOLOGI
Matakuliah : SOSIOLOGI
Program Studi : KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
Fakultas : DAKWAH
Bobot : 2 SKS
Dosen : Suprihatiningsih, S.Ag, M.Si
Deskripsi singkat ; Mata kuliah ini merupakan salah satu mata kuliah utama di Fakultas Dakwah. Pada mata kuliah yang membahas teori-teori sosiologi, paradigma sosiologi , obyek kajian sosiologi sejarah perkembangan sosiologi sertas para tokoh yang berpengaruh pada sosiologi
Standar Kompetensi : Mahasiswa mampu memahami konsep-konsep dasar sosiologi dan mampu mengimplementasikannya untuk menganalisis problematika sosial yang berkembang di masyarakat dalam perspektif sosiologi

No Kompetensi Dasar Topik/Materi Indikator Hasil Belajar Strategi Pembelajaran Evaluasi Alokasi Waktu Referensi
Jenis tagihan Bentuk instrumen
1.
Mahasiswa mampu memahami sejarah, konsep, obyek, tujuan serta sejarah sosiologi.

1. Pengantar sosiologi.
Mahasiswa dapat:
a. Mendefinisikan dan menjelaskan pengertian sosiologi
b. Menjelaskan obyek studi sosiologi.
c. Mengetahui manfaat dan tujuan sosiologiu

Lecturing
Power of three

- Pertanyaan lisan
1x
Doyle Paul jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Janu Murdiyatmoko, Sosiologi
George Ritzer, Teori Sosial Postmodern
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parson
Stephen K. Sanderson, Makro SosiologiSebuah Pendekatan Terhadap Realitas SosialPeter Worsley, Pengantar Sosiologi Sebuah Pembanding jilid I
Ritzer, George, Teorisosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana,2006

2. sketsa historis teori sosiologi
Mahasiswa dapat:
a. menjelaskan tahapan-tahapan sejarah sosiologi.
b. menjelaskan bagaimana perhatian terhadap masyarakat sebelum dan sesudah Auguste Comte.
. Lecturing
Reading Guide
Class discussion Hasil reading guide Esay 1 X Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Janu Murdiyatmoko, Sosiologi
George Ritzer, Teori Sosial Postmodern
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parson


3. tokoh tokoh yang mempengaruhi perkembangan sosiologi a. menjelaskan teori sosiologi Perancis (Saint-Simon, A. Comte, E.Durkheim)
b. menjelaskan teori sosiologi Jerman (K.Mark dan Max Weber)
c. menjelaskan teori sosiologi Inggris (H. spenser) Lecturing
Reading Guide
Class
Discussion Hasil reading guide Esay 3 X George Ritzer, Teori Sosial Postmodern
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik dari Comte hingga Parson

2 Mahasiswa mampu memahami dan mengidentifikasikan perbedaaan masing-masing paradigma sosiologi serta dapat mengaplikasikannya Paradigma sosiologi Mahasiswa dapat:
a. mendefinisikan pengertian paradigma sosiologi
b. mendefinisikan pengertian parqadigma fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial
c. mengetahui tokoh-tokoh sosiologi yang beropengaruh pada tiga paradigma tersebut
d. menjelaskan teori-teori sosiologi yang digunakan oleh masing-masing paradigma tersebut
e. menjelaskan metode yang digunakan oleh masing-masing paradigma sosiologi
f. menganalisa permasalahan sosial berdasarkan paradigma sosiologi. Reading Guide
Lecturing
Reading Guide
Class
Hasil reading guide Pertanyaan tertulis 3X George Ritzer, Teori Sosilogi Modern
George Ritzer, Sosilogi Ilmu Berparadidma Ganda
Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial
Tom Campbel, Tujuh Teori Sosial
3 Mahasiswa mampu memahami ruang lingkup kajian sosiologi. 1. interaksi sosial dan proses sosial
Mahasiswa dapat:
a. menjelaskan pengertian interaksi sosial dan proses sosial
b. menjelaskan syarat-syarat interaksi sosial
c. menjelaskan bentuk-bentuk interaksi sosial dalam masyarakat Lecturing
Class
Discussion Rumusan diskusi kelompok - 1 X Peter Worsley, pengantar sosiologi sebuah poembanding jilid I
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar

2. statifikasi sosial
Mahasiswa dapat:
a. Menjelaskan pengertian stratifikasi sosial
b. Menjelaskan unsur-unsur dan dasar stratifikasi sosial
c. Menjelaskan sifat dasar stratifikasi sosial
d. Menjelaskan teori-teori stratifikasi sosial
e. Menjelaskan stratifikasi sosial dalam perspektif evolusioner.
Lecturing
Class
Discussion
Rumusan diskusi kelompok - 1 X Peter Worsley, pengantar sosiologi sebuah poembanding jilid I
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Paul B. Horton, sosiologi jilid II
Stephen K. Anderson, mekro sosiologi sebuah pendekatan terhadap realitas sosial
Pudjiwati, sajogo, sosiologi pembangunan.
3. kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat Mahasiswa dapat:
a. mejelaskan klasifikasi tipe-tipe kolompok sosial
b. menyebutkan dan menjelaskan macam-macam kelompok sosial
c. menganalisa kelompok sosial dalam masyarakat dengan pendekatan sosiologis Class
Discussion
Lecturing
Rumusan diskusi kelompok - 1 X Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Paul B. Horton, Sosiologi Jilid II.
Stephen K. Sanderson, Makro SosiologiSebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial

4 Mobilitas Sosial Mahasiswa dapat:
a. menjelaskan pengertian mobilitas sosial
b. menjelaskan faktor-faktor pendorong terjadinya mobilitas sosial
c. menyebutkan dan menjelaskan jenis-jenis mobilitas sosial
Power of three
Class discussion
Lecturing
Rumusan diskusi kelompok - 1 X Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Paul B. Horton, Sosiologi Jilid II.
Stephen K. Sanderson, Makro SosiologiSebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial

5. Perubahan sosial dan budaya Mahasiswa dapat:
a. mendefinisikan pengertian perubahan sosial
b. menjelaskan teori-teori perubahan sosial, proses perubahan dan factor-faktor penentu perubahan
c. mengidentifikasi dampak positif dan negatif Perubahan Sosial dan Budaya Lecturing
Reading Guide
Everyone is a Teacher here
Rumusan diskusi kelompok 2 x Peter Worsley, Pengantar Sosiologi Sebuah Pembanding jilid II
Robert H. Lauer, Persepektif tntang Perubahan sosial
3Paul B. Horton, Sosiologi Jilid II
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Pudjiwati, Sajogyo, Sosiologi Pembangunan, Jakarta: Fakultas
Pasca Sarjana IKIP Jakarta, 1985,
Sztompka, Piort, Sosiologi perubahan Sosial,Jakarta: Prenada Media, 2005


4
Mahasiswa mampu memahami konsepsi agama, dimensi empiris agama dan aspek sosiologis agama fungsi agama bagi manusia dan masyarakat, pengaruh agama terhadap stratifikasi sosial serta mampu memahami eksistensi agama dalam masyarakat
1. Agama dan Masyarakat
Mahasiswa dapat:
a. Mendefinisikan pengertian agama
b. Menjelaskan fungsi agama bagi manusia dan masyarakatnya
c. Menjelaskan pengaruh agama terhadap stratifikasi sosial
d. Menjelaskan eksistensi agama dalam masyarakat
e. Menjelaskan Fungsi-fungsi agama dalam masyarakat

Reading Guide
Class discussion
lacturing Resume
1 X
Doyle Paul jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali sosiologi
George Ritzer, Teori Sosilogi Modern
George Ritzer, Sosilogi Ilmu Berparadidma Ganda
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Jakarta: Kanisius, 1993
F. O’Dea, Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1987
Robertson, Roland, Agama dalam analisa dan interpretasi sosiologis, akarta: Rajawali Press, 1993,
Nottingham Elizaberth K, Agama dan Masyarakat, Jakarta,: Raja Wali, 1992.

2. Agama sebagai kategori sosial Mahasiswa dapat:
a. mejelaskan dimensi empiris agama
b. menjelaskan aspek sosiologis agama
c. menjelaskan agama sebagi institusi sosial
d. Mengklsifikasikan tipe-tipe organisasi keagamaan
e. menjelaskan unsur-unsur agama yang diinstitusikan Reading Guide
Lecturing
Active debate Resume 1 X Doyle Paul jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali sosiologi
George Ritzer, Teori Sosilogi Modern.
George Ritzer, Sosilogi Ilmu Berparadidma Ganda
Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Jakarta: Kanisius, 1993
F. O’Dea, Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Press, 1987
Robertson, Roland, Agama dalam analisa dan interpretasi sosiologis, akarta: Rajawali Press, 1993, hlm.
Nottingham Elizaberth K, Agama dan Masyarakat, Jakarta,: Raja Wali, 1992.
5 Mahasiswa mampu memahami Hakikat dan bentuk-bentuk prilaku kolektif, prilaku massa, serta mampu memahami Teori gerakan sosial dan bentuk-bentuk gerakan sosial Prilaku kolektif dan gerakan Sosial Mahasiswa dapat:
a. menjelaskan teori gerakan sosial dan prilaku sosial
b. mengidentifikasi perbedaan antara prilaku kerumunan, prilaku massa dan gerakan sosial Lecturing
Reading Guide
Everyone is a Teacher here
Makalah kelompok Esay 2X Paul B. Horton, Sosiologi Jilid II.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar