Tampilkan postingan dengan label dakwah kultural. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dakwah kultural. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Mei 2010

EXISTENSI AGAMA DALAM KELUARGA (Menyimak Peran Orang Tua Terhadap Pendidikan Agama di limgkungan Kelurga)

EXISTENSI AGAMA DALAM KELUARGA
(Menyimak Peran Orang Tua Terhadap Pendidikan Agama di limgkungan Kelurga)
Oleh Suprihatiningsih, S.Ag, M.Si.**
A. Pendahuluan
Al-din al-nashihah (agama itu adalah nasihat) demikian sabda Nabi SAW . Semakin kuat keberagamaan seseorang, semakin kuat dan jelas pula nasihatnya. Sebaliknya, semakin lemah keberagamaan dan keyakinan seseorang semakin berkuranglah peringatan dan ansihat yang disampaikannya.
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural) selalu menyertai dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang perorang maupun dalam berhubungan dengan masyarakat luas. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari.
Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious conciousness), tidaklah tumbuh secara kebetulan, tetapi melalui proses yang panjang. Walaupun setiap anak dilahirkan kedunia ini dalam keadaan fitrah, artinya manusia lahir membawa fitrah beragama dan potensi berbuat baik, namun fitrah dan potensi yang sudah ada semenjak dilahirkan itu tidak akan berkembang secara optimal tanpa adanya pemeliharaan dan bimbingan.
Bimbingan untuk pengembangan fitrah dan potensi yang masih berupa bibit atau benih itu dapat melalui proses pendidikan. Seorang anak harus dipandu dan diarahkan agar mereka tidak menyimpang dari fitrah dan potensinya yang sudah mereka bawa semenjak lahir dengan memberikan pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh, adalah pendidikan dalam keluarga. Apabila di lingkuangan kelurga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit untuk memperoleh kesadaran agama (religious conciousness), yang memadai
Pada makalah ini penulis akan membahas tentang existensi agama dalam keluarga ( peran orang tua terhadap pendidikan agama di lingkungan keluarga). Menurut pandangan penulis keeksisan sebuah agama dalam keluarga tergantung dari bagaimana peran orang tua yang diajarkan orang tua. Dalam makalah ini pengertian pendidikan tidak dibatasi oleh institusi ( lembaga) lapangan pendidikan tertentu. Pendidikan diartikan dalam ruang lingkup yang luas, yaitu upaya sadar yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki tangung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta pengarahan potensi yang dumiliki anak. Yang dimaksud bertangung jawab dalam pengertin ini adalah kedua orang tua.
Disadari atau tidak oleh orang tua, gerak gerik dan tingkah laku mereka sehari-hari yang setiap waktu bahkan setiap saat dilihat, dirasakan dan di dengar oleh anak adalah proses belajar bagi mereka.
Kalau materi yang sering diterima anak baik, sebuah keluarga yang harmonis, hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang, secara otomatis unsur-unsur kebaikan itu akan tertransfer kedalam diri anak, disaat itu bisa dikatakan orang tua telah berhasil menjadi seorang guru yang bagi anaknya. Namun jika materi yang sering diterima anak tidak baik, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perhatian dan kasih sayang yang kurang karena orang tua sibuk dengan urusan masing-masing, ucapan-ucapan yang tidak baik, disaat itu orang tua telah gagal menjadi guru pertama dan utama bagi anak.
Pengertian pendidikan agama dalam keluarga adalah proses transformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit social terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Kenapa keluarga? Karena keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.

B. Terminologi Keluarga
Keluarga dalam bahasa Arab adalah al-Usroh secara etimologis mampunyai arti ikatan. Kata keluarga dapat diartikan sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau sebuah tempat di mana seseorang memperoleh nilai-nilai agama, norma-norma social, internalisasi norma-norma, terbentuknya frame of reference, behaviorisme, dan lain-lain. Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat merupakan lingkungan budaya pertama dan utama dalam rangka menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Pengalaman- pengalaman seseorang dalam berinteraksi di dalam keluarganya turut menentukan cara-cara bertingkah laku terhadap orang lain dalam pergaulan social di luar keluarganya. Apabila interaksi social di dalam keluarga tidak lancar atau tidak wajar, maka kemungkinan besar interaksi social dengan dengan masyarakat pada umumnya juga berlangsung dengan tidak wajar.
Pada tingkatan masa anak-anak seorang individu hanya berinteraksi dengan anggota keluarga, ini adalah saat yang tepat bagi orang tua untuk membentuk karakter seorang anak. Orang tualah yang mengarahkan kehidupan anak dengan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dirumah yang merupakan teladan bagi anak.
Adapun jenis-jenis hubungan keluarga sebagaimana dijelaskan oleh Robert R. Bell dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. kerabat dekat ( conventional kin)
Kerabat dekat terdiri atas individu yang terkait dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, dan atau perkawinan, seperti suami istri, orang tua- anak, dan antar saudara (siblings)
2. Kerabat jauh (discretionary)
Kerabat jauh terdiri atas individu yang terkait dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, tetapi ikatan kelurganya lebih lemah daripada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh terkadang tidak menyadari akan adanya hungan keluarga tersebut. Hungan yang terjadi di antara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri dari Paman-bibi, keponakan dan sepupu
3. Orang yang dianggap kerabat (fictive kin)
Seorang diangap anggota kerabat karena ada hungan yang khusus, misalnya hubungan anta teman akrab
Dalam norma sosial, asal-usul keluarga terbentuk dari perkawinan. Asal-usul ini erat kaitannya dengan aturan Islam bahwa dalam upaya pengembang-biakan keturunan manusia, hendaklah dilakukan dengan perkawinan. Oleh sebab itu, pembentukan keluarga di luar peraturan perkawinan dianggap sebagai perbuatan dosa.
C. Agama Dalam Kehidupan Individu
Para pakar bahasa Indonesia berbeda pendapat tentang kata ‘agama’. Apakah ia terambil dari gabungan kata a yang berarti ‘tidak’ dan gama yang bertai kacau. Atau diambil dari bahasa Indo-Germania yang berarti “jalan menuju syurga”. Tapi, yang jelas al-Qur’an menamai agama dengan din. Dalam kamus Besar Bahasa indonesis , agama diartikan sebagai, kepercayaan kepada Tuhan (Allah, dewa, dan lain sebagainya) denagn ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Agama sering dipahami sebagai hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan yang diyakininya, sehingga dengan demikian terjadi subtyektifitas pada diri masing-masing agama dan penganutnya.
Abdul Karim Al-Khatib, seorang ahli agama Islam, menegaskan bahwa agama adalah hubungan pribadi antara seseorang denagn Tuhan yang dipercayai, diandalkan serta diyakininya menguasai masa kini dan masanya, hidup dan matinya, dan yang kepadaNya manusia mengabdi. Lain halnya dengan John Locke yang mengatakan bahwa beragama adalah individual. “Mustahil seseorang akan menjadi saya percaya, kalau jiwa saya tidak percaya”
Terlepas dari apa yang dikemukakan oleh Abdul Karim Al-Khatib dan John Locke yang jelas manusia sering disebut sebagai homo religius (makhluk beragama). Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk yang beragama. Potensi yang dimiliki manusia ini secara umum disebut sebagai fitrah keagamaan, yaitu berupa kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh dari luar dirinya. Pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaaan, latihan, pendidikan dan sebaginya yang secars umum disebut sosialisasi. Dalam sebuah keluarga orang yang memiliki peran sebagai agen sosialisasi ini adalah orang tua.
Agama dalam kehiduupan individu berfungsi sebagai system nilai yang memuat norma-norma tertentu menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakian agama yang dianutnya. Sebagai sitem nilai agama mempunyai arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dapat dipertahankan sebagai bentuk cirri khas.
Menurut Mc Guire, diri manusia memiliki bentuk system nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem nilai ini salah satunya dipengaruhi oleh keluarga.
Dalam diri manusia terdapat system nilai tertentu. Sistem nilai ini dianggap sesuatu yang bermakna bagi dirinya. Sistem ini dibentuk melalui belajar dan sosialisasi dari keluarga kemudian meresap dalam diri seorang individu. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi system yang menyatu dan membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana seorang individu bersikap dan berpenampilan. Menurut Pandangan Mc Guire, yang membentuk system nilai dalam diri individu adalah agama.
Dilihat dari fungi dan peran agama dalam memberikan pengaruhnya terhadap individu, baik dalam bentuk system nilai, motivasi maupun pedoman hidup, maka pengaruh yang paling penting adalah sebagai pembentuk kata hati (conscience). Kata hati menurut Erich Fromm Panggilan kembali manusia pada dirinya. Erich Fromm membagi kata hati menjadi dua , yaitu kata hati otoritarian dan kata hati humanistic.
Pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindungi, rasa suxes dan rasa puas. Persaan poisitif ini lebih lanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agama dalam kehidupan individu selain menjadi motivasi dan nilai etik juga merupakan harapan.
Agama berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsure kesucuan serta ketaatan. Ketrkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Agama juga dapat berfungsi sebagai nilai etik karena dalam melakukan suatu tindakan terikat kepada ketentuan anatara mana yang tidak boleh dan mana yang tidak boleh menurut agama yang dianutnya.
Sebaliknya agama juga sebagai pemberi harapan bagi pelakunya. SEseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya karena adanya suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang dari sesuatu yang ghaib.
Sebagai motivasi, agama mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat kebajikan maupun berkorban. Sebagai Nilai etik, agama mendorong seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji, menjaga amanat dan lain-lain. Dan Sebagai harapan, agama mendorong seseorang untuk bersikap ikhlas, menerima cobaan yang berat ataupun berdo’a. Sikap seperti itu akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber dari keyakinan terhadap agama.


D. Peran orang tua terhadap pendidikan agama dalam keluarga
Peran keluarga (orang tua) dalam mendidik anak-anaknya merupakan suatu hal yang tidak bisa diabaikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan kelurga. Sejak dari bangun tidur hingga saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga. Penanaman kesadaran beragama dalam sebuah kelurga harus dimulai dari pembentukan system nilai yang bersumber dari niali-nilai ajaran agama.
Adapun pembentukan system nilai ini tergantung dari perlakuan yang diberikan orang tua dan ketersedian lingkungan agama yang mendukung. Secara konkrit dapat digambarkan, bahwa untuk menanamkan nilai ibadat orang tua harus mencontohkan sikap dan prilaku ketaan beragama. Pembentukan system nilai akan kurang berpengaruh bila tidak disertai dengan keteladanan dan contoh. Anak-anak selalu belajar dari perlakuan orang tua terhadap dirinya. Menurut Rasulullah, fungsi dan peran orang tua mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Walaupun anak yang baru dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaann dan pengaruih kedua orang tua mereka.

Setiap orang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada anak-anaknya tentang seluk beluk kehidupan ini. Kewajiban ini sebagai bagian dari peran social orang tua. Kewajiban orang tua pada proses sosialisasi nilai keagaman dan norma-norma social ini adalah untuk membentuk kepribadian anak-anaknya. Apa yang dilakukan orang tua pada anak dimasa awal pertumbuhannya sangat menentukan kepribadian anak-anaknya tersebut. Self anak terbentuk dan berkembang melaui interaksi dengan significant othersnya yaitu orang tua dan anggota keluarga lainya, orang tualah yang mejadi role model bagi seorang anak dalam membentuk kepribadinya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Erich Fromm yang menjelaskan bahwa adanya hubungan antara pembentukan nilai-nilai kepribadian dengan nilsi-nilsi moral keagamaan.. Mereka yang hidup dilingkungan keluarga yang taat serta berhungan dengan orang-orang taat beragama, akan memberikan pengaruh dalam pembentukan karakternya. Sebaliknya mereka yang asing dengan lingkungan yang seperti itu akan sulit untuk mengenal nilai-nilai keagamaan.
Kegiatan dan proses pendidikan dapat terjadi dalam tiga lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga lingkungan ini harus bekerja sama dan saling mendukung untuk hasil yang maksimal dalam membentuk kepribadian seorang anak yang baik dan sholeh.
Lingkungan pertama yang punya peran adalah lingkungan keluarga, disinilah anak dilahirkan, dirawat dan dibesarkan. Pendidikan in formal dalam keluarga akan banyak membantu dalam meletakan dasar pembentukan kepribadian anak. Misalnya sikap religius, disiplin, lemah lembut, rapi, rajin, sopan, dan sbagainya dapat tumbuh, bersemi dan berkembang sesuai dengan kebiasaanya dirumahDisinilah proses pendidikan berawal, orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak. Orang tua adalah guru agama, bahasa dan sosial pertama bagi anak, kenapa demikian? Karena orang tua (ayah) adalah orang yang pertama kali melafazdkan adzan dan iqomah ditelinga anak di awal kelahirannya. Orang tua adalah orang yang pertama kali mengajarkan anak berbahasa dengan mengajari anak mengucapkan kata ayah, ibu, nenek, kakek dan anggota keluarga lainnya. Orang tua adalah orang yang pertama mengajarkan anak bersosial dengan lingkungan sekitarnya.
Orang tua, ibu khususnya karena seorang ibu yang biasanya punya banyak waktu bersama anak dirumah, bisa menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya, jika seorang ibu mampu mengarahkan, membimbing dan mengembangkan fitrah dan potensi anak secara maksimal pada tahun-tahun pertama kelahiran anak dimana anak belum disentuh oleh lingkungan lain, dalam artian anak masih suci.
Salah satu unsur dari proses pendidikan adalah pendidik. Di pundak terletak tanggung jawab yang besar. Hal ini disebabkan karena pendidkan merupakan cultural transition yang bersifat dinamis kearah suatu perubahan secara kontiniu, sebagai sarana vital dan membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia.
Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Islam mengajarkan bahwa pendidik pertama dan utama yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohanipeserta didik adalah kedua orang. Islam memerintahkan kedua orang tua untuk medidik diri dan keluarganya, terutama anak-anaknya.
Titik awal dari pembentukan kepribadian seorang anak dan masayarakat adalah orang tua. Seandainya setiap orang tua menyadari tugas dan tanggung jawabnya serta mampu menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, mungkin akan terlahir generasi muda yang punya kepribadian tangguh dan anak-anak sholeh.
Proses kehidupan dalam sebuah keluarga adalah proses belajar pertama bagi anak sebelum mereka hidup dalam lingkungan yang lebih luas yaitu sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu seharusnya setiap orang tua harus mampu memanfaatkan masa-masa ini untuk mengembangkan potensi anak untuk membentuk pribadi yang sempurna.
Di sekolah terlihat hasil dari pola asuh orang tua dirumah sebelum anak terjun kelingkungan sekolah. Ada anak yang baik dan punya sopan santun, dan ada juga yang terbiasa berkata tidak sopan dan banyak lagi macam karakter-karakter anak yang lain. Semua model karakter anak tersebut adalah hasil dari didikan orang tua dirumah.
Sesuatu yang ditanamkan dan dibiasakan oleh orang tua sebagai dasar karakter anak itulah yang kelihatan dalam diri anak pada tahap berikutnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa terlihat ketika anak-anak berkumpul dan bergabung jadi satu dengan anak-anak lainnya, disanalah terlihat bermacam-macam kepribadian dan karakter mereka.
Secara garis besar peran orang tua terhadap pendidikan agama dilingkungan keluarga mengacu dan berorientasi kepada frman allah dalam surat Luqman ayat 12-19, nasihat Luqman kepada anak-anaknya yaitu:
وَلَقَدْ اتَيْنَالُقْمنَ الحَكِْمَةَ اَنِاشْكُرِْللهِ وَمَنْ يَشْكُرْفَاِنَّمَايَشْكُرْلِنَفْسِه وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللهَ غَنِيٌ حَمِيْدٌ. (12). وَاِذْ قَالَ لُقْمنُ لاِبْنِه وَهُوَ يَعِظُه يبُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ. (13). وَوَصَّيْنَااْلاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ اُمُّه وَهْنًاعَلى وَهْنٍ وَّفِصلُه فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَ اِلَيَ اْلمَصِيْرُ. (14). وَاِنْ جَاهَدكَ عَلى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلمً فَلاَتُطِعْهُمَاوَصَاحِبْهُمَافِىالذُنْيَا مَعْرُوْفًاوَّتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِئُكُمْ بِمَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْن. (15). يبُنَيَّ اِنَّهَااِنْ تَكُ مِثْفَالَ حَبَةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِىالسَّموتِ اَوْفِى الاَرْضِ يَأْتِ بِهَااللهُ, اِنَّ اللهَ لَطِيْفٌخَبِيْرٌ. (16). يبُنَيَّ اَقِمِ الصَلوةَ وَأْمُرُ بِاْلمَعْرُفِ وَانْهَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَاضْبِرْ عَلى مَآاََصَبَكَ, اِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِاْلاُمُرٍ. (17). وَلاَتُصَعِر خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَتَمْشِ فِىاْلاَرْضِ مَرَحًاو اِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ. (18). وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ اِنَّ اَنْكَرَ اْلاَصْوَاتِ لَصَوْتُ اْلحَمِيْرِ. (19).
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur; maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (12). Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya. Di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (13). Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (14) Dan jika keduanya untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu. Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15). Luqman (berkata): “Hai anakku sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (16). Hai Anakku dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (17). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (18). Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai. (19).
Menarik disimak bahwa pengajaran ini diabadikan Al-Qur’an setelah dalam ayat sebelumnya al-Qur’an menegaskan bahwa sebagain dari hikmah yang dianugerahkan kepada luqman itu adalah perintah untuk bersyukur atas nikmatNya. Tentu saja nikmat tersebut adalah anak, dan mansyukuri kehadiran anak adalah dengan mendidiknya.
Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik (mempersekutukan Allah). Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran aqidah-tauhid. Mengingat keluarga dalam hal ini orang tua lebih dominan dalam mendidik anak, maka pendidikan dasar yang harus diberikan orang tua kepada seorang anak adalah dengan memberikan pengetahuan dasar-dasar keimanan (aqidah- tauhid) dan ke-Islaman. al-Ghazali memberikan beberapa metode dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan dengan cara memberikan hafalan. Sebab kita tahu bahwa proses pemahaman diawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi).
Ketika mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa yang diayakini. Inilah proses yang dialami anak pada umumnya.
Setelah kewajiban pokok yang berkaitan dengan Allah, maka disusul dengan kewajiban untuk berbakti kepada orang tua , khususnya kepada ibu. Yang menarik dari kedua pesan di atas adalah keduanya disertai dengan argumentasi yang dapat dibuktikan oleh manusia melalui penalaran akalnya yang dianjurkan Al-qur’an pada saat dia mengemukakan materi tersebut.
Materi yang ketiga adalah perintah shalat dan mengerjakan yang ma’ruf. Yang dimaksud dengan yang ma’ruf adalah segala sesuatu yang diakui oleh adapt sitiadat masyarakat sebagai hal yang baik selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai aqidah dan syuari’ah.
Akhirnya nasihat luqman ditutup dengan kewajiban bersikap lemah lembut terhadap orang lain, sopan dalam berjalan dan berbicara. Pendidikan agama dalam keluarga dilaksanakan melalui contoh dan teladan (uswatun hasanah) dari orang tua. Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antara ibu dengan bapak, antara orang tua dengan anak, kakak dengan adik dan adik dengan kakak, sangat mempengaruhi prilaku anak dalam masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock menyatakan bahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat dijadikan teladan ataupun idola bagi mereka.
E. Kesimpulan
Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga itu penting sekali artinya dengan berorientasi kepada firman Allah SWT dalam surat Al Luqman ayat 12 s/d 19, sebab pendidikan di lingkungan keluarga itu adalah pendidikan pertama dan yang utama, bisa memberi warna dan corak kepribadian anak seandainya orang tua tidak menyempatkan diri untuk mendidik anak-anaknya di keluarga sehingga terabaikan begitu saja karena kesibukan orang tua. Maka hal ini akan membawa pengaruh yang tidak baik terhadap kesaran beragama (religious conciousness) anak.
Demikianlah makalah ini penulis akhiri mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Penulis yakin bahwah makalah ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis.

Strategi Dakwah Kultural

Strategi Dakwah Kultural
Menyadari perkembangan dakwah Persyarikatan yang cenderung stagnan, Muhammadiyah merasa perlu mengubah metode dan strategi berdakwah dengan lebih mengakomodasi kultur. Dengan menekankan metode dan strategi dakwah yang bercorak kultural, Muhammadiyah menginginkan agar adat, tradisi, dan budaya lokal dipelajari, dikuasai, dan dijadikan wawasan sebagai bekal berdakwah. Namun demikian, bukan berarti warga Muhammadiyah harus larut dalam adat, tradisi, dan budaya lokal, yang mungkin saja dapat menghilangkan daya kekritisannya. Sebab, betapapun Muhammadiyah harus tetap memberikan sikap yang tegas terhadap budaya lokal.
Berkaitan dengan sikap Muhammadiyah terhadap adat, tradisi, dan budaya lokal, kiranya KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dapat dijadikan teladan. Seperti diketahui, KH Ahmad Dahlan telah bersikap sangat tegas sekaligus akomodatif terhadap budaya lokal. Misalnya, beliau telah meluruskan arah kiblat Masjid Keraton Yogyakarta, mengadakan shalat ‘idain (‘id fitri dan ‘id adlha) di lapangan terbuka, penyampaian khutbah dengan bahasa lokal, dan membentuk badan amil zakat yang sebelumnya merupakan hak prerogatif kyai. Justru karena ketegasan beliau dalam meluruskan pemahaman agama disertai pengembangan berbagai amal usaha itulah, Muhammadiyah telah berkembang pesat. Pada konteks inilah, tampaknya dakwah kultural Muhammadiyah harus dipahami sebagai upaya untuk mengubah budaya lokal, khususnya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, menjadi kultur yang sarat dengan nilai-nilai Islam.
Strategi dakwah kultural Muhammadiyah menuntut adanya kreativitas warganya ketika berhadapan dengan adat, tradisi, dan budaya lokal. Di sinilah arti penting pemahaman yang komprehensif bagi warga Muhammadiyah terhadap ajaran Islam mengenai seni dan budaya. Sebab, rasa seni sebagai penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah swt yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai jiwa ajaran Islam. Berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Tarjih ke-22 tahun 1995 telah ditetapkan bahwa karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (bahaya), ‘ishyan (kedurhakaan), dan ba‘id ‘anillah (terjauhkan dari Allah). Dengan ketentuan tersebut berarti warga Muhammadiyah semestinya tidak boleh anti pati terhadap budaya lokal.
Dakwah kultural Muhammadiyah juga harus menempatkan kelompok abangan, sinkretis, tradisionalis, dan modernis sebagai sasaran dakwah. Muhammadiyah harus menganggap kelompok-kelompok tersebut sebagai capaian keberagamaan seseorang. Keberagamaan (derajat ke-Islaman) seseorang harus dipandang sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai karena melibatkan pergumulan ideologi, sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dengan demikian, kelompok abangan dapat dipandang sebagai komunitas yang sedang berproses menjadi Muslim sejati. Karena itulah misi dakwah Islam harus disajikan menurut takaran kelompok keberagamaan di masyarakat (bi qadri ‘uqulihim). Dakwah juga harus dikemas dengan taysir (mudah) dan tabsyir (menggembirakan). Jika dakwah yag dilakukan mubaligh Muhammadiyah dikembangan dengan cara tersebut, maka dengan sendirinya Muhammadiyah akan dapat menjadi rumah bagi siapa pun. Dengan kata lain, Muhammadiyah akan dapat menjadi tenda besar bagi kelompok abangan, sinkretis, dan tradisionalis. Selama ini kelompok-kelompok tersebut terasa kurang dapat menerima kemasan dakwah Muhammadiyah.

Prospek Dakwah Kultural
Dakwah kultural Muhammadiyah, seperti dikatakan Ahmad Syafii Maarif, dimaksudkan agar dakwah Muhammadiyah lebih lentur dan fleksibel. Itu artinya, bahwa selama ini Muhammadiyah memang sudah mengakomodasi budaya lokal, hanya saja pada tingkat tertentu dirasakan masih kurang serius. Apalagi Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dikenal memiliki amal usaha yang sangat banyak. Tentu saja, berbagai amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah tersebut akan dapat dijadikan sebagai media berdakwah.
Namun demikian, optimisme beberapa kalangan terhadap prospek dakwah kultural harus juga disertai rasa kewaspadaan terhadap beberapa persoalan yang mungkin dapat menghambat. Beberapa hal yang kira-kira dapat dijadikan hambatan pengembangan dan implementasi dakwah kultural adalah; pertama, selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial-keagamaan yang sangat puritan dengan menempatkan motto kembali kepada al-Quran dan Hadits.
Tentu saja, dalam sudut pandang dakwah kultural, motto tersebut mungkin akan diartikulasikan secara berlebihan dalam memandang adat, tradisi, dan budaya lokal. Kedua, masih kuatnya resistensi di internal tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam menyikapi adat, tradisi, dan budaya lokal yang sinkretis. Dalam hal ini, secara jujur harus diakui bahwa di kalangan Muhammadiyah, tema dakwah menghapus TBC masih sangat dominan.
Di sinilah arti pentingnya dakwah kultural Muhammadiyah harus mampu menyajikan beragam model dakwah yang berbeda bagi setiap kelompok masyarakat. Model dakwah anti TBC barangkali sangat relevan bagi aktivis Muhammadiyah, namun dapat dipandang kurang cocok dengan kalangan Islam abangan dan sinkretis. Ketiga, sejauh ini Muhammadiyah belum memiliki media yang cukup memadai untuk mengembangkan dakwah kultural, khususnya yang berkaitan dengan seni dan budaya. Bahkan secara guyonan dapat dikatakan bahwa satu-satunya seni yang dimiliki Muhammadiyah adalah seni bela diri Tapak Suci.
Beberapa catatan tersebut tentu harus dicarikan solusi, jika Muhammadiyah berkeinginan mengimplementasikan gagasan dakwah kultural. Untuk memulai usaha tersebut kiranya diperlukan pedoman operasional yang dapat dijadikan rujukan warga persyarikatan. Di samping itu, juru dakwah (mubaligh) Muhammadiyah juga harus diberikan wawasan agar mampu melihat kultur dan budaya lokal dari sisi dalam (from within), bukan dari sisi luarnya.
Dengan perspektif semacam ini berarti mubaligh Muhammadiyah dapat terbebas dari beban psikologis jika harus menjadikan kultur dan budaya lokal sebagai media berdakwah. Jika usaha ini terus dikembangkan maka tidak tertutup kemungkinan lahir mubaligh Muhammadiyah yang lebih menekankan pentingnya kearifan lokal (local wisdom). Maka, menjadi menarik dilihat bagaimana Muhammadiyah dan warga persyarikatan mengkreasi gagasan dakwah kultural.*

DAKWAH PADA KELUARGA

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;...". (At-Tahriim: 6)
Hidayah itu datangnya adalah dari Allah Subhanahu wa Taala. Boleh jadi, anak mendapat hidayah lebih dahulu berbanding orang tua. Pergaulan dengan kawan-kawan di sekolah mahupun di universiti, mengenalkan sang anak kepada Islam, sehingga pemahaman dan wawasan agamanya melebihi orang tua. Jika tidak pandai mengelola hal ini, berkemungkinan akan timbul pertentangan antara anak dan orang tua.
Ada ikhwah yang ayah dan ibunya sudah dalam kondisi yang islami, tetapi ada pula ikhwah yang orang tuanya masih ammah(awam) dan sama sekali tidak faham tentang agama. Semuanya, tentu harus dikomunikasikan dengan baik, dengan berdialog dari hari ke hari. Seperti halnya kaderisasi(pembinaan) yang harus mengkader(membina) untuk mencetak generasi Rabbani, ada tahapan-tahapan. Ada proses. Perlu waktu.
Posisi kita dalam keluarga, terkadang juga mempengaruhi dawah kita. Bila kita anak sulung, dan memiliki adik-adik, terkadang suara kita lebih didengar. Lantas bagaimana bila kita anak bungsu, dan akhwat pula? Harus berdawah kepada yang lebih tua? Kakak-kakak? Di tengah lingkungan keluarga? Jangan sedih. Kedewasaan tidaklah diukur dari usia, tapi dari cara berfikirnya dan dari cara dia mengatasi masalah. Bukan begitu?
Berikut ini tips-tips yang boleh dilakukan untuk dawah keluarga. Kondisi setiap orang tua berbeza-beza, maka memang memerlukan analisa terlebih dahulu. Namun setidaknya ada point-point asas yang boleh kita terapkan bersama.
31 Tips Dawah Keluarga
1. Membantu orang tua
Bila tak ada pembantu, jangan malas untuk membantu orang tua. Karena ini kesempatan yang baik untuk pendekatan. Boleh dengan membantu mencuci pinggan, menyapu, menyiram, menyetrika, memasak, dan lain-lain.
2. Mendengarkan masalah dan beri penyelesaian yang Islami
Sabtu dan Minggu adalah waktu berkumpul keluarga. Banyak hal yang biasanya dibincangkan. Dan bila orang tua ada masalah, dengarkanlah masalah mereka dan beri penyelesaian yang Islami.
3. Disiplin saat menonton TV
Menonton TV jangan dianggap remeh. Apa jadinya bila aktivi kita ternyata masih suka menonton drama cinta, gossip dan lagu-lagu rock??? Selain tidak boleh dalam agama, pun akan menjadi penilaian tersendiri di mata orang tua. Anakku ini rupanya suka menonton cerita-cerita cinta (?)
4. Bangun pagi
Bangun lewat akan membawa gambaran yang kurang bagus. Apatah lagi aktivi, shalat subuh! ^ _ ^
5. Tersenyum
Selalu berwajah ceria, tidak masam, tentu akan membuat orang yang melihatnya pun menjadi ikut bahgia. Aktivi wajahnya tersenyum selalu. Kalaupun ada kesedihan, cukup sekadar simpan dalam hati.
6. Mendoakan di shalat malam
Meski kita berikhtiar siang dan malam, tetapi hidayah tetap hak Allah. Maka jangan lupa mendoakan mereka di setiap selesai shalat dan di setiap shalat malam kita.
7. Memberi buku Islam yang sesuai
Kalau kita lebih suka membaca Risalah Pergerakan, Perangkat-Perangkat Tarbiyah, tentu orang tua tidak sesuai dengan ini. Maka kita harus menyediakan buku-buku Islam yang sesuai pemahaman mereka. Misalnya untuk ibu, karena sudah ada keluarga, jadi yang lebih dominan dalam pemikirannya adalah tentang keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Kita boleh membelikan buku ini. Atau bila kakak kita ternyata sebentar lagi akan menikah, kita boleh mencadangkan buku pernikahan islami, atau tips memilih menantu, misalnya.. ehm ehm
8. Perpustakaan Islam di rumah
Bilik kita penuh buku-buku, wawasan kita menjadi luas. Tetapi keluarga kita tidak. Maka keluarkan buku-buku itu dan letakkan juga di perpustakaan keluarga. Atau bila belum ada perpustakaannya, kita buat sendiri dengan mencari ruangan yang boleh dilihat oleh seluruh ahli keluarga.
9. Hiasi rumah dengan suasana Islami
Simbol-simbol Islam terkadang perlu karena pengkondisian lingkungan adalah sebahagian dari dawah. Kita boleh membeli kaligrafi Islam, atau kabah, dst. Dan mengurangkan adanya patung-patung dan sejenisnya. Tentu hal ini disampaikan secara bertahap kepada keluarga kita.
10. Memainkan tilawah atau nasyid di rumah
Mengenalkan keluarga dengan lagu-lagu yang Islami, sebagai jalan alternatif hiburan. Ar Ruhul Jadid mungkin terdengar enak di telinga kita, tapi bagi orang yang belum faham, belum tentu. Sesekali memutarkan tak mengapa, tapi jangan setiap hari. Cuba putar juga kaset-kaset slow yang disukai oleh orang yang sudah berusia, misalnya nasyid OPICK, Raihan atau Bimbo.
11. Memancing dengan ceramah subuh
Kebiasaan harus ditanamkan. Mulailah dari diri kita dahulu.Selesai shalat subuh, kita menonton ceramah subuh. Orang tua pun pasti menjadi pendengar. Setiap hari, biasakan. Maka Anda akan melihat bahawa orang tua akan menutup TV sendiri, demi menonton ceramah subuh. Dari ceramah subuh yang rutin tersebut, automatik tak ubahnya seperti pengisian harian.
12. Sabar
Sabar dalam berdawah. Jangan pernah kenal henti. Sabar dalam tingkah laku juga. Sabar dengan adik-adik jika ada, tahan kemarahan.
13. Memberi teladan
Makan dengan sederhana, tidak suka ikut ghibah bila orang tua kita berghibah, pakaian sederhana saja dan pastikan bilik tidur sentiasa kemas.
14 Ajak orang tua shalat berjamaah
Shalat berjamaah akan memberi efek yang luar biasa bagi hati. Dalam shalat ini, orang tua menjadi imam, sehingga hubungan orang tua dan anak akan kian menjadi erat karena Allah.
15. Menceritakan aktiviti di universiti
Bila kita ikut program sekolah, cubalah tunjukkan foto-foto, laporan universiti, dan VCD aktiviti universiti. Dengan ini, orang tua tak khawatir apabila ada waktu kita sering di luar rumah.
16. Membawa kawan-kawan bersilaturahim ke rumah
Sesekali, ajak kawan-kawan ke rumah untuk bersilaturahim dengan keluarga kita. Orang tua akan lebih tenang hatinya bila mengetahui bahwa anaknya bergaul dengan kawan-kawan yang baik akhlaknya.
17. Menjadi sumber ilmu
Wawasan kita juga harus luas. Misalnya ketika tengah ada masalah keluarga, tentang warisan misalnya. Nah, kita bisa memberikan penyelesaian tentang hukum waris dalam Islam. Pun hukum-hukum lainnya, seperti pernikahan, zakat, dan lain-lain.
18. Persiapan menikah
Menikah bagi ikhwah tentu ada adab-adabnya. Maka jauh-jauh hari kita harus rajin membincangkan pernikahan Islami ini agar orang tua tidak terkejut. Boleh dengan cara menceritakan walimah Islami yang kita kunjungi atau bahkan mengajak mereka ke walimahan yang Islami. Pun kenalkanla apa itu ikhwan, akhwat.
19. Memperbanyak tilawah di rumah
Rumah yang banyak dibaca tilawah di dalamnya, niscaya akan membawa ketenangan dan keberkahan di dalam rumah.
20. Ramai sedikit tak mengapa
Apa maksudnya? Iya, misalnya ada isu-isu tentang teroris, perjuangan Palestin, dan lain-lain. Kita jadikan tema ini menjadi bahan pembicaraan dan jelaskan dari sudut pandang Islam. Karena tak jarang, keluarga kita juga termakan ghazwul fikri ini.
21. Membeli majalah Islam
Media yang ada di rumah, boleh kita meriahkan dengan majalah-majalah Islam. Ada majalah MAJALAHi, AL-ISLAM,SOLEHA,ANAMUSLIM, dll.
22. Kenalkan dengan yang sebaya
Orang tua juga memerlukan komuniti yang sebaya dengannya. Tidak beza jauh dengan kita saat di universiti, yang kita lebih selesa bila berbual dengan teman sebaya. Maka kita cari tetangga ataupun keluarga yang faham Islam dan kenalkan dengan orang tua. Kita gabungkan dengan mereka dalam dawah. Kakak dan adik kita pun demikian, kenalkan mereka dengan ikhwah di lingkungan mereka. Titip menitip tarbiyah antara ikhwah wa akhwat, sudah menjadi hal yang lumrah.
23. Lemah Lembut
Berdawah harus dengan lemah lembut. Karena boleh jadi hidayah itu tidak langsung turun, tetapi memerlukan proses.
24. Berdikari, dewasa, dan tidak bermasalah.
Kedewasaan bukanlah diukur dari usia. Karena sampai bilapun kita masih boleh bermanja-manja dengan orang tua. Yang terpenting, jangan sampai kita menjadi anak yang bermasalah.
25. Musholla(tempat solat) di rumah
Bila di rumah belum ada musholla, padahal ada ruang yang kosong, maka kita ajukan cadangan untuk membangun musholla di rumah.
26. Mengajak ikut Al Quran di dalam telefon
Orang tua sibuk bekerja? Kakak sibuk kuliah? Ajaklah untuk bergabung dengan software Al Quran dalam telefon bimbit sehingga dawah itu dapat tersampaikan dimana saja dan tanpa ada had masa.
27. Kirim artikel Islam melalui email
Selain itu, ada pula email-email Islam yang boleh kita kirimkan kepada orang tua, adik, dan kakak kita.
28. Alat-alat elektronik yang Islami
Komputer dan HP(telefon bimbit), boleh kita memasukkan hal yang berkaitan Islam, nasyid, properties Islam, dll.
29. Minta pendapatnya
Meminta pendapat orang tua adalah bentuk wujud hormat kita kepada mereka. Karena dengan demikian, orang tua akan merasa dihargai kedudukannya.
30. Cari pasangan yang boleh berdawah pula
Selama ini kita berdawah sendiri. Nah, bila akan dan sudah menikah, carilah pasangan yang sekiranya dapat diajak berdawah pula dengan keluarga kita. Maka dawah bisa menjadi kuat, dua kali lipat!
31. Mampu mencari nafkah
Untuk ikhwan, setelah habis SPM ada baiknya berpenghasilan(bekerja) meskipun sedikit. Untuk akhwat, bila belum berpenghasilan, jangan banyak meminta ini itu kepada orang tua. Meski orang tua kita mampu, bukankah kesederhanaan juga bagian dari perintah agama?
Jika semua tips di atas sudah kita lakukan, maka bersabarlah karena hidayah itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Taala dan ingat, Dia menilai proses, bukan hasil. Selamat berjuang ikhwah fillah.