Senin, 24 Mei 2010

EFEK BERDAKWAH MELALUI MEDIA TRADISIONAL

EFEK BERDAKWAH MELALUI MEDIA TRADISIONAL
(STUDY KOMPARASI KECERDASAN EMOSI ANTARA DOSEN, KARYAWAN DAN MAHASISWA YANG MENGIKUTI SENI KARAWITAN DENGAN YANG TIDAK MENGIKUTI DI FAKULTAS DAKWAH IAIN WALI SONGO SEMARANG)

A. Latar Belakang Masalah
Dakwah Islam pada dasarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, namun bentuk dan cara penyampaiannya berlainan, yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar. Dakwah dapat dilaksanakan dengan berbagi metode, seperti ceramah, diskusi, tanya jawab, keteladanan, karyawisata, rekayasa sosial, infiltrasi, lisan-haal, social presessure dan hikmah. Untuk menyampaikan pesan dakwah, seorang juru dakwah (da’i) dapat menggunakan berbagai macam media dakwah, baik itu media modern (media elektronika) maupun media tradisional (Azis, 2004 : 20)
Media tradisional dalam dakwah menggunakan berbagai macam seni pertunjukan yang dipentaskan di depan umum terutama sebagai sarana hiburan yang memiliki sifat komunikatif, seperti seni ketroprak, karawitan, wayang, seni teater dan sebagainya. Dengan demikian mempermudah bagi juru dakwah untuk menyampaikan dakwah dan juga agar mudah dipahami oleh sasaran dakwah (mad’u), maka sebaiknya dakwah dilakukan dengan menggunakan salah satu media yang ada. Hal ini untuk menyesuaikan keadaan masyarakat yang tidak sama, disatu sisi sudah modern di sisi lain masih tradisional. Oleh karena itu dalam berdakwah walaupun sudah menggunakan media modern namun tidak menghilangkan media tradisional yang masih digunakan dengan baik, sehingga dalam berdakwah penggunaan media tersebut dapat disesuaikn dengan keadaan masyarakat setempat. Oleh karena keadaan lingkungan masing-masing masyarakat tidak selalu sama, maka materinya juga harus bervariasi menyesuaikan keadaan dimana juru dakwah harus mencari masalah-masalah yang dihadapi dan sekaligus memikirkan pemecahannya yang nantinya menjadi bahan pembicaraan dalam berdakwah.
Seni merupakan media yang mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan dakwah Islam, karena media tersebut memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati pendengar maupun penontonnya. Hal ini dibuktikan dengan masuknya Umar bin Khatab ke dalam islam adalah karena bergetar hatinya mendengar keindahan seni dalam bahasa al-Qur’an yang dilantukan oleh adiknya. Demikian juga dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa dapat tersebar luas serta diterima oleh masyarakat karena para Wali Songo sebagi da’i menggunakan bentuk-bentuk seni dari budaya masyarakat setempat sebagai salah satu media dakwah pada waktu itu, yaitu media wayang dan gamelan (http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html).
Menurut Abdurrahman Al Baghdadi, definisi seni yaitu penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis) dan dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari/drama). Seni merupakan bentuk keindahan yang tampak nyata yang langsung dapat dinikmati oleh manusia.
Adapun pendekatan dan pengembangan dakwah yang digunakan oleh Walisongo yang sesuai dengan media dakwah setempat yang sedang digandrungi oleh masyarakat, yaitu melalui gamelan. Para wali melihat bahwa gamelan dengan lagu-lagu yang disyairkan sebagai media komunikasi dan interaksi yang mampu merubah pola pikir masyarakat. Kesenian gamelan kemudian dimodifikasi dan disesuaikan oleh para Wali dengan konteks dakwah atau di islamkan. Media tradisioanal yang ada disekitar masyarakat yang berupa wayang dan gamelan digunakan para wali untuk berdakwah sehingga membuat agama Islam dapat tersebar secara luas di Pulau Jawa. Dengan media tersebut materi dakwah mudah ditangkap oleh masyarakat yang awam karena pendekatan-pendekatn Walisongo yang konkrit dan realistis, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat (http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html).
Melihat kenyataan yang demikan maka kesenian memiliki peranan yang tepat guna sehingga dapat mengajak kepada khalayak untuk menikmati dan menjalankan isi yang terkandung didalamnya. Dalam konteks keilmuan dakwah yang digunakan Islam dengan metode kesenian adalah salah satunya dengan menggunakan lagu-lagu shalawat, rebana nasyid, pop dan gending-gending jawa dan lain-lain. Seni dapat digunakan sebagai media dakwah karena syair yang terpancar bernilai dakwah sehingga dikatakan bahwa seni sebagai media untuk berdakwah (http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html).
Kuntowijoyo mengemukakan bahwa kesenian yang merupakan ekspresi dari keislaman itu setidaknya mempunyai karakteristik Islam yang mencerminkan karakteristik dakwah Islam seperti: a). berfungsi sebagai ibadah, tazkiyah, dan tasbih, b). menjadi identitas kelompok, dan c). berfungsi sebagi syair). Syair dan musik yang ada dalam gamelan atau karawitan selain dapat dimanfaatkan untuk berdakwah juga dapat membuat pendengar dan pemainnya merasa lebih tenang dan tentram. (http://www.skripsizone.com/humaniora/dakwah)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Luthfi SF pada siswa SD di Solo menunjukkan bahwa musik salah satunya gending dalam gamelan dapat memberikan rangsangan untuk aspek perkembangan kognitif dan kecerdasan emosional serta mempertajam pikiran, kreativitas, memperbaiki konsentrasi dan ingatan. Roger Sperry dalam Siegel penemu teori neuron mengatakan bahwa neuron baru akan menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik sehingga neuron yang terpisah-pisah dapatitu bertautan dan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak, sehingga terjadi perpautan antara neuron otak kanan dan otak kiri. Proses mendengar musik merupakan salah satu bentuk komunikasi afektif dan memberikan pengalaman emosional. Emosi yang merupakan suatu pengalaman subyektif yang inherent terdapat pada setiap manusia. Untuk dapat merasakan dan menghayati sera mengevaluasi makna dari interaksi dengan lingkungan ternyata dapat dirangsang dan dioptimalkan perkembangannyamelaluimusik.(http://www.skripsizone.com/humaniora/dakwah)
DR. Anderson dan peneliti lainnya juga melihaat bagaimana kekerasan lirik musik, dalam sebuah studi yang melibatkan 2003 mahasiswa. Anderson menemukan bahwa kekerasan lirik lagu dengan peningkatan agresi terkait dengan pemikiran dan emosi dan ini adalah efek langsung yang terkait dengan kekerasan isi lirik (http: /bk. Stkip-Pontianak –web .com)
Musik digambarkan sebagai salah satu bentuk murni ekspresi emosi. Musik mengandung berbagai contour spacing, variasi insensitas dan modulasi bunyi yang luas, hal ini sesuai dengan komponen-komponen emosi manusia. Kepekaan akan rasa indah timbul melalui pengalaman yang dapat diperoleh dari menghayati musik. Kepekaan adalah unsur yang penting guna mengarahkan kepribadian dan meningkatkan kualitas hidup. Seseorang yang memiliki kepekaan tinggi atas perasaan mereka akan dapat mengambil keputusan secara mantap dan membentuk kepribadian yang tangguh. Kepekaan yang dimiliki oleh seorang individu merupakan bagian penting dari kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali diri yang merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri, suatu perasaan atau emosi itu muncul dan mampu mengenali emosinya sendiri apabila memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan yang sesungguhnya. Kecerdasan emosi menurut Goleman (2000: 45) merupakan kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, empati dan berdoa..
Seni karawitan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional jawa. Di laboratorium Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang seni karawitan merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dimiliki oleh divisi media tradisional dalam rangka pengembangan dakwah yang diikuti oleh dosen karyawan dan mahasiswa. Kegiatan ini sudah lama dilakukan oleh para dosen, karyawan dan mahasiswa untuk berdakwah. Melalui kegiatan seni karawitan ini peneliti ingin mengetahui pengaruh panembromo atau karawitan yang merupakan salah satu media dakwah tradisional terhadap kecerdasan emosi para dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti dan membandingkan dengan yang tidak mengikuti seni karawitan di Fakultas Dakwah.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana perbedaan kecerdasan emosi antara para dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti seni karawitan (penembromo) dengan yang tidak mengikuti seni karawitan panembromo di Fakultas Dakwah?

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbedaan Kecerdasan emosi antara dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti penembromo dan yang tidak mengikuti panembromo di Fakultas Dakwah

D. Kerangka Teoritik
1. Kecerdasan Emosi
a. Pengertian Kecerdasan Emosi
Sebelum membahas tentang kecerdasan emosional, perlu dipahami terlebih dahulu makna emosi. Akar kata emosi adalah kata lia molore yang artinya bergerak. Dari kata ini Segel mendefinisikan emosi dengan membebaskan diri dari kelumpuhan, motivasi untuk bertindak, dan semakin bergairah terhadap sesuatu (Segel, 2001: 13). Albin (1994: 9) mengartikan emosi sebagai perasaan tertentu yang bergejolak dan dialami seseorang serta berpengaruh terhadap kehidupan. Sementara menurut Goleman, emosi merupakan perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 2000: 50).
Para pakar mendefinisikan kecerdasan emosional secara berbeda-beda. Salovey dan Mayer dalam McCormack (2006: 8-9) mendefinisikan Emosional Intelligent (EI) sebagai satu bentuk kecerdasan yang melibatkan kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi dirinya sendiri juga perasaan dan emosi orang lain, untuk membedakan diantaranya dan untuk menggunakan informasi ini dalam menentukan pikiran dan perilaku.
Lebih luas dari pengertian yang dikemukakan Salovey dan Mayer, Goleman (2000: 45) menyebut kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.
Hampir senada dengan pendapat Goleman di atas, Yudiani (2005: 62) mengartikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan dan mengelola emosi baik diri sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang lain, dan menggunakan secara efektif untuk memotivasi diri dan bertahan terhadap frustasi dan stres serta mengendalikan diri untuk mencapai hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan kerja. Sementara Suharsono (2003: 108) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan mengetahui diri sendiri yaitu mengetahui potensi-potensi dan kemampuan yang dimiliki, mengetahui kelemahan-kelemahan, perasaan dan emosi. Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat mendayagunakan, mengekspresikan dan mengkomunikasikan dengan orang lain. Lebih lanjut ditambahkan pula kemampuan untuk mengetahui visi dan tujuan hidup secara substansial merupakan bagian dari kecerdasan emosional.
Bila dikaitkan dengan ajaran Islam, Agustian (2000: 144) menyamakan istilah kecerdasan emosional dengan akhlak yang telah diajarkan Rasulullah SAW 15 abad lalu. Basori (2003: 99) menyatakan kecerdasan emosional dalam Islam dapat dikaitkan dengan ajaran-ajaran tentang : Pertama, pengendalian diri (hati) manusia dari nafs rendah (ghadabah) menuju nafs tinggi (muthmainah) yang lemah lembut dan halus. Kedua, Ajaran tentang pentingnya niat (motivasi) dalam melakukan amal ibadah karena sesungguhnya kualitas perbuatan diukur dari niat. Ketiga, memahami apa yang dirasakan orang lain. Melalui puasa misalnya selain menjalankan syariat juga mempunyai maksud berempati kepada orang lain yang kelaparan, menghargai orang lain yang lemah dan upaya pengendalian diri. Sedangkan tokoh muslim lainnya, Umar (2000: 47) memaknai kecerdasan emosional sebagai kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas emosional yang berpusat di jiwa. Sementara menurut Sukidi (2002: 66), emosi dalam spiritualitas Islam (Al-Qur’an) diasosiasikan dengan nafs. Kemudian kecerdasan emosional diartikan sebagai kemampuan mengendalikan nafs bahkan mengarahkannya menjadi nafs al marhmah (yaitu nafs yang mengandung kasih sayang).
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenal emosi diri sendiri dan orang lain serta menggunakannya untuk meraih kesuksesan dalam tingkat pribadi maupun dalam hubungan sosial.

b. Komponen Kecerdasan Emosional
Sejak awal kemunculannya, kecerdasan emosional seseorang merupakan sesuatu yang tidak bisa diukur sebagaimana IQ yang telah memiliki standar pengukuran seperti yang dirancang Binet (McCormark, 2006: 4). Meskipun demikian, pada setiap kajian kecerdasan emosional yang ditawarkan para ahli, mereka mencoba menyertakan pula komponen pembentuk kecerdasan emosional. Dengan adanya komponen ini maka berbagai upaya dikembangkan guna mengetahui EQ seseorang dengan berdasarkan komponen EQ yang ditawarkan para ahli tersebut.
Salovey dan Mayer dalam (Mc. Cormack, 2006: 4) secara khusus mengusulkan empat aspek dasar dari kecerdasan emosional yaitu pengenalan emosi, pemahaman emosi, pengaturan emosi dan penggunaan emosi. Sementara berdasarkan pada konsep kecerdasan emosional yang dikenalkan Gardner dan Salovey-Meyer, Goleman (2000:58) mengembangkan kecerdasan emosional dalam lima komponen yaitu
1) Mengenali emosi diri, yang berarti mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan (sedih, bahagia, marah, takut) dari waktu ke waktu dan memperhatikan suara hati dan menyesuaikan dengan perasaan saat pengambilan keputusan.
2) Mengelola emosi yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap secara pas. Mengelola emosi disini meliputi kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan kemurungan dan amarah serta mengetahui akibat-akibat yang timbul karena kegagalan mengelola emosi.
3) Memotivasi diri sendiri artinya menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kemampuan memotivasi diri sendiri ditunjukkan dengan optimisme (memiliki pengharapan yang kuat dalam hidup kendati mengalami halangan), berpikir positif (tidak terjebak dalam kecemasan atau depresi dalam menghadapi tantangan), menahan diri dari kepuasan dan menahan dorongan hati serta menyesuaikan diri untuk mencapai kinerja yang efektif.
4) Mengenali emosi orang lain (empati) artinya kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain, mampu membaca pesan nonverbal (gerak gerik, ekspresi wajah dan nada suara), mengetahui kebutuhan/membantu orang lain, dan tidak melakukan perbuatan amoral.
5) Membangun hubungan artinya kemampuan mengelola emosi orang lain yang berkaitan kepemimpinan (kemampuan memprakarsai, mengkordinasi serta upaya menggerakkan orang lain serta kemampuan mempengaruhi orang lain), mampu mendeteksi dan mempunyai pemahaman perasaan dan motif orang lain, merundingkan permasalahan mediator yang mencegah konflik atau menyelesaikan masalah dan kemampuan menentramkan emosi yang membebani orang lain (Goleman, 2000: 58-9).
Stein dan Book (2000: 33-4) menjelaskan secara detail teori kecerdasan emosional yang dicetuskan oleh Bar-On. Kecerdasan emosional menurut Bar-On terdiri dari lima belas kemampuan pokok yang menunjukkan kecerdasan emosional seseorang. Dari lima belas kemampuan tersebut dibagi dalam lima ranah, yaitu :
1) Ranah intarpribadi (kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan, dan aktualisasi diri)
2) Ranah antarpribadi (empati, tanggung jawab sosial dan hubungan antarpribadi).
3) Ranah penyesuain diri (uji realitas, sikap fleksibel dan pemecahan masalah).
4) Ranah pengendalian stres (ketahanan menaggung stres dan pengendalian impuls)
5) Ranah suasana hati (optimisme dan kebahagian).
Suharsono (2002: 108-9) menyebutkan komponen kecerdasan emosional meliputi bagaimana mengenali kelebihan dan kelemahan diri, mempunyai tujuan hidup yang jelas, pengendalian diri, kemampuan mengelola ide dan konsep, membangun jaringan dan bekerjasama. Dengan cara agak berbeda yaitu dengan berdasarkan ajaran-ajaran Islam, Agustian (2000: 199) menyebutkan komponen kecerdasan emosional sebagai berikut konsisten (istiqomah), kerendahan hati (tawadhu), berusaha dan berserah diri (tawakkal), ketulusan (ikhlas), keseimbangan (tawazun), totalitas (kaffah), penyempurnaan (ihsan) dan integritas.
Berdasarkan komponen kecerdasan emosional yang telah dijelaskan, maka indikator kecerdasan emosional dalam penelitian ini mengacu pada komponen kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa Goleman merupakan tokoh yang telah mempopulerkan EQ. Di samping itu, kecerdasan emosional Goleman telah banyak dijadikan rujukan pengukuran penelitian pada semua sampel. Sehingga tepat kiranya apabila digunakan pula pada subjek penelitian dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Wali Songo Semarang.

2. Dakwah dan Seni Karawitan (Panembromo)
a. Pengertian Dakwah
Secara terminologi, para ahli berbeda-beda dalam memberikan pengertian tentang dakwah islam. Ada yang mengartikan bahwa dakwah merupakan transformasi sosial atau perubahan sosial yang didasarkan kepada nilai –nilai normatifitas Islam dan bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi sosial dan individual yang selaras, serasi dan sejalan dengan nilai – nilai Islam.Dan ada juga yang mengartikan dakwah secara normatif yakni mengajak manusia ke jalan kebaikan dan petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhiray. ( Abdul Basit, 2006: 27)
Ibnu Taimiyyah mengartikan dakwah sebagai proses usaha untuk mengajak masyarakat ( mad’u ) untuk beriman kepada Allah dan Rosul-Nya sekaligus mentaati apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya itu. Sementara Abdul Munir Mulkhan mengartikan dakwah sebagai usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat, sedangkan Ali Mahfudh mendefinisikan dakwah sebagai upaya memotifasi ummat manusia untuk melaksanakan kebaikan, mengikuti petunjuk serta memerintah mereka berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan pengertian tersebut maka dakwah secara essensial bukan hanya berarti usaha mangajak ( mad’u ) untuk beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan Rosul-Nya, jadi dakwah dipahami sebagai seruan ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat Islami berdasarkan kebenaran ajaran Islam yang hakiki. ( Ilyas Supena, 2007:105-108)
Sulthon (2003: 8-9) memberikan klasifikasi pemahaman pakar Islam mengenai dakwah misalnya (1) dakwah adalah usaha yang mengarah untuk memperbaiki suasana kehidupan yang lebih baik dan layak sesuai dengan kehendak dan tuntunan yang benar, (2) Dakwah adalah usaha membuka konfrontasi keyakinan ditengah manusia, membuka kemungkinan bagi kemanusiaan untuk menetapkan pilihannya sendiri, (3) Dakwah Islam adalah dakwah kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi - pribadi didalam hubungan antar manusia dan sikap prilaku antar manusia, (4) Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka didunia dan akhirat, (5) Dakwah merupakan suatu proses usaha untuk mengajak agar orang beriman kepada Allah, percaya dan mentaati apa yang telah diberitakan oleh Rosul serta mengajak agar dalam menyembah kepada Allah seakan-akan melihatnya, (6) Dakwah adalah usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun Masyarakat. (7) Dakwah adalah gerakan untuk merealisasikan undang-undang ( Ihya al-nidham ) Allah yang telah menurunkan kapada nabi Muhammad SAW. (8) Dakwah adalah mendorong ( memotifasi ) Ummat manusia agar melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. (9) Dakwah adalah setiap usaha atau aktifitas dengan lisan atau tulisan dan lainnya, yang bersifat menyeru , mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah s.w.t sesuai dengan garis –garis aqidah dan syariah serta akhlaq Islamiyah.



b. Metode Dakwah
Metode berasal dari bahasa Latin Methodus yang berarti cara. Dalam bahasa Yunani, methodus berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam bahasa Inggris method diartikan dengan metode atau cara. Kata metode telah menjadi bahasa indonesia yang memiliki pengertian suatu cara yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencara sistem, teta pikir manusia.
Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam menyampaikan pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, suatu kesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dan memakai metode sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah. Dalam tafsir yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi terhadap ayat 125 surat an-Nahl yang berisikan perintah dari Allah Swt tentang metode dakwah. Dari ayat tersebut secara garis besar ada tiga pokok metode (thariqah) dakwah, yaitu (Aziz, 136):
1). Hikmah, yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitik beratkan pada kemampuan mad’u, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya tidak merasa terpaksa atau keberatan.
2). Mauidhaah Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajran-ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga nasihah dan ajaran islam yang disampaikan itu dapat menyentuh hati masyarakat.
3). Mujadalah, yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan dan tidak pula dengan menjalankan yang menjadi sasaran dakwah.
Menurut Basit (2006: 69) ada metode lain yang dapat digunakan dalam berdakwah yaitu metode nafsiyah. Metode ini tujuannya untuk mengontrol perilaku diri sendiri dalam menjalankan tugas dan peran kemanusainnya. Untuk melakukan kontrol ini maka seorang individu perlu melakukan dakwah terhadap dirinya sendiri (dakwah nafsiyah). Selain tujuan di atas dakwah nafsiyah bertujuan agar individu yang menyatakan diri sebagai muslim senantiasa dapat meningkatkan keimanan yang dimilikinya menjadi lebih baik dan meningkat.
Sukriadi Sambas, salah seorang pioner yang memperkenalkan istilah dakwah nafsiyah, mengatakan bahwa dakwah nafsiah secara leksikal adalah mengajak diri sendiri atau mendakwahi diri sendiri oleh dirinya sendiri. Sedangkan secara istilah merupakan proses internalisasi ajaran islam pada tingkat intra internalisasi muslim dalam memfungsikan fitrah diniyahnya yang ditujukan dalam perilku keagamaan yang sesuai dengan syariat islam yang bersumber dari tuntunan al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Dari uraian dan definisi dakwah nafsiyah tersebut di atas satu hal yang mesti dicatat adalah bahwa prasyarat terjadinya dakwah nafsiyah adalah individu-individu yang telah memiliki pehaman keislaman.
Ada tiga metode yang dapat digunakan dalam dakwah nafsiyah yang dikembangkan oleh Al-Ghazali dan Ibnul Qoyim Al-Jauzi:
1). Wiqayatunnafs, artinya memelihari diri dari segala perbuatan yang dapat merusak amal yang telah dilakukan seperti iri, dengki, ria dan penyakit hati lainnya.
2). Muhasabatunnafs, artinya intropeksi diri dari kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri sendiri sehingga dengan cara itu dapt bertindak secara proporsional dan bijak.
3). Tathwirunnafs, artinya pengembangan diri menjadi yang terbaik dan bermanfaat bagi orang lain. Umat islam dalam menjalankan hidupnya tidak hanya berjalan secara alamiah melainkan perlu melakukan desaindan perencanaan strategis dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya.
Ketiga metode dakwah bin nafsik di atas memiliki kesamaan dengan indikator-indikator orang yang memiliki kecerdasan emosi seperti menyadari emosi diri sendiri, mengelola emosi, mengenali emosi orang lain, memotivasi diri sendiri dan membina hubungan dengan orang lain
Dalam penelitian ini, metode dakwah yang digunakan adalah metode bil hikmah dan metode nafsiyah yaitu dengan melaui media tradisional seni karawitan. Penggunanan metode nafsiyah melalui media tradisonal dalam penelitian adalah untuk mengetahui efek berdakwah bagi para anggota seni karawitan itu sendiri yang berkaitan dengan kecerdasan emosinya.



c. Pengertian Media (Wasilah) Dakwah
Media dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad’u. Untuk menyampaikan ajaran Isalam kepada umat, dakwah dapat menggunakan wasilah. Hamzah Ya’qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu:
1). Lisan; merupakan wasilah dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, lagu, musik dan sebagainya.
2). Tulisan; merupakan wasilah dakwah yang menggunakan buku, majalah, surat kabar, surat menyurat, spanduk dan sebagainya.
3). Lukisan; merupakan wasilah dakwah yang menggunakan gambar, karikatur dan sebagainya.
4). Audio Visual; merupakan wasilah dakwah yang merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, televisi, film, slide, internet dan sebagainya.
5). Akhlak; merupakan wasilah dakwah dengan menggunakan perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad’u.
Dari segi sifatnya, media dahwah dibagi menjadi dua golongan, yaitu;
1). Media tradisional, yaitu berbagai macam seni pertunjukan yang secara tradisional dipentaskan didepan umum (khlayak) terutama sebagai sarana hiburan yang memiliki sifat komunikatif, seperti wayang, ludruk, drama, ketoprak, karawitan, panembromo dan sebagainya. Terdapat kecenderungan bahwa media komunikasi tradisional mulai ditinggalkan. Padahal kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa media tradisional, khususnya khotbah, pengajian dan kesenian masih cukup efektif untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Oleh karenanya, kecakapan penggunaan media tradisional masih perlu ditangani oleh salah satu kompartemen di Laboratorium Dakwah.
2). Media Modern disebut juga sebagai media elektronika, yaitu media yang dilahirkan dari teknologi modern. Yang termasuk media modern ini antara lain televisi, radio, pers dan sebagainya.
Ada lebih dari 500 macam media tradisional di seluruh Indonesia sebagai pertunmjukan rakyat, namun tidak semua nedia tersebut digubnakn sebagai wadsilah dakwah. Untuk pemilikan media tradional sebagai wasilah dakwah harus dipertimbangkan beberapa aspek sebgai berikut;
1). Aspek Efektifitas
2). Aspek dengan kesesuaian dengan masyrakat setempat
3). Aspek legaklitas dari sudut pandang ajaran Islam.
Berdasarkan realita yang ada di masyarakat kita, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki beranerka ragam budaya dan tentunya media tradisonal juga. Hal ini dapat kita jadikan rujukan mengapa para Wali Songo menggunakan media tradisonal sebagai media dakwah dalam menyampaikan pesan dakwah.


d. Panembromo atau Karawitan
Seni musik karawitan merupakan salah satu musik tradisional. Kata musik, atau sanggita dalam bahasa Sangsekerta memiliki tiga aspek. Pertama adalah bahasa (menyanyi), kedua bermain dan ketiga adalah gerakan (menari). Ketiganya digabungkan dalam setiap tindakan ( Hazrat Inayat Khan, 2006:14). Ketika musik masyarakat timur berkembang, ketiga aspek ini juga berkembang. Banyak orang di dunia yang menganggap musik sebagai sumber kesenangan.
Grace Sudargo, seorang pendidik dan musisi mengatakan dasar-dasar musik klasik secara umum berasal dari denyut nadi manusia sehingga ia berperan dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter bahkan raga manusia. Senada dengan Sudargo, Ev Andreas Crystanday dalam suatu ceramah musiknya mengatakan bahwa musik sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Musik memiliki tiga bagian penting , yaitu beat, rytme dan harmoni. Beat mempengaruhi tubuh, rytme mempengaruhi jiwa dan harmoni mempengaruhi roh. Musik yang baik bagi kehidupan manusia adalah musik yang seimbang antara beat, ritme dan harmoni. (http//www/ 88DB.com)
Karawitan yang merupakan salah satu musik tradisional jawa berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain, gamelan Jawa dalam perkembangannya juga mengalami perubahan-perubahan. Perubahan terjadi pada cara pembuatanya, sedangkan perkembangannya menyangkut kualitasnya.
Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini, siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk dalam kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001). Gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira 72 alat dan dapat dimainkan oleh niyaga (penabuh) dengan disertai 10 – 15 pesinden dan atau gerong. Susunannya terutama terdiri dari alat-alat pukul atau tetabuhan yang terbuat dari logam. Alat-alat lainnya berupa kendang, rebab (alat gesek), gambang yaitu sejenis xylophon dengan bilah-bilahnya dari kayu, dan alat berdawai kawat yang dipetik bernama siter atau celepung. Gamelan Jawa mempunyai tanggapan yang luar biasa di dunia internasional. Saat ini telah banyak diadakan pentas seni gamelan di berbagai negara Eropa dan memperoleh tanggapan yang sangat bagus dari masyarakat di sana. Bahkan sekolah-sekolah di luar negeri yang memasukan seni gamelan sebagai salah satu musik pilihan untuk dipelajari oleh para pelajarnya juga tidak sedikit. Tapi ironisnya di negeri sendiri masih banyak orang yang menyangsikan masa depan gamelan. Terutama para pemuda yang cenderung lebih tertarik pada musik-musik luar yang memiliki instrumen serba canggih. Dari sini diperlukan suatu upaya untuk menarik minat masyarakat kepada kesenian tradisional yang menjadi warisan budaya bangsa tersebut. Salah satunya adalah dengan adanya pertunjukan karawitan yang dimainkan oleh para dosen, karyawan dan mahasiswa di fakultas Dakwah dalam rangka pengembangan media tradisonal dalam berdakwah

e. Efek Dakwah (Atsar)
Efek berdakwah atau atsar berasal dari bahasa Arabyang berartti bekasan, sisa atau tanda. Atsar atau efek sering disebut dengan feedbeack (umpan balik) dari proses dakwah ini seringkali dilupakan atau tidak banyak menjadi perhatian para da’i. Kebanyakan da’i menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan maka selesailah dakwah. Padahal atsal sanagt besar artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa menganalisis atsar dakwah maka kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah akan terulang kembali. Sebaliknya dengan menganalisis atsar dakwah secara cermat dan tepat maka kesalahan strategi dakwah akan segera diketahui untuk diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya. Demikian juga strategi dakwah termasuk di dalam penentuan unsur-unsur dakwah yang dianggap baik dapat ditingkatkan.
Efek dakwah yang diharapkan dalam upaya untuk mencapai tujuan dakwah, maka kegiatan dakwah selalu di arakhan untuk mempengaruhi tiga aspek perubahan diri, yaitu perubahan pada aspek pengetahuan atau knowledge, aspek sikap dan aspek prilaku. (Azis, 2004:138-9)
Berkenaan dengan ketiga hal tersebut di atas, Djalaluddin Rahmat menyatakan bahwa:
1. Efek kognitif
Terjadi jika ada perubahan pada apa yng dikettahu, dipahami atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, ketrampilan kepercayaan atau informasi.
2. Efek afektif
Timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak yang meliputi segala yang berhubungan dengan emosi, sikap serta nilai.
3. Efek Behavioral
Merujuk pada prilaku nyata yang dapat diamati yang meliputi pola-pola tindakan kegiatan atau kebiasaan berprilaku (Aziz, 2004:140).

E. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: Ada perbedaan kecerdasan emosi antara dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti panembromo dan yang tidak mengikuti panembromo.

F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian : Penelitian kuantitatif
2. Identifikasi Variabel Penelitian
a. Variabel Independen : 1). Mengikuti Panembromo
2). Tidak Mengikuti Panembromo
b. Variabel Dependen : Kecerdasan Emosi

3. Definisi Operasional Variabel Penelitian
a. Panembromo atau karawitan
Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.
b. Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengenal emosi diri sendiri dan orang lain serta menggunakannya untuk meraih kesuksesan dalam tingkat pribadi maupun dalam hubungan sosial. Goleman (2000:58) mengembangkan kecerdasan emosional dalam lima komponen yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan membina hubungan.
1). Mengenali emosi diri, yang berarti mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan (sedih, bahagia, marah, takut) dari waktu ke waktu dan memperhatikan suara hati dan menyesuaikan dengan perasaan saat pengambilan keputusan.
2). Mengelola emosi yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap secara pas. Mengelola emosi disini meliputi kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan kemurungan dan amarah serta mengetahui akibat-akibat yang timbul karena kegagalan mengelola emosi. .
3). Memotivasi diri sendiri artinya menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kemampuan memotivasi diri sendiri ditunjukkan dengan optimisme (memiliki pengharapan yang kuat dalam hidup kendati mengalami halangan), berpikir positif (tidak terjebak dalam kecemasan atau depresi dalam menghadapi tantangan), menahan diri dari kepuasan dan menahan dorongan hati serta menyesuaikan diri untuk mencapai kinerja yang efektif.
4). Mengenali emosi orang lain (empati) artinya kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain, mampu membaca pesan nonverbal (gerak gerik, ekspresi wajah dan nada suara), mengetahui kebutuhan/membantu orang lain, dan tidak melakukan perbuatan amoral.
5). Membangun hubungan artinya kemampuan mengelola emosi orang lain yang berkaitan kepemimpinan (kemampuan memprakarsai, mengkordinasi serta upaya menggerakkan orang lain serta kemampuan mempengaruhi orang lain), mampu mendeteksi dan mempunyai pemahaman perasaan dan motif orang lain, merundingkan permasalahan mediator yang mencegah konflik atau menyelesaikan masalah dan kemampuan menentramkan emosi yang membebani orang lain (Goleman, 2000: 58-9). Kecerdasan emosi ini diungkap dengan melalui skala yang disusun berdasarkan kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Goleman. Semakin tinggi skor total jawaban subyek dalam skala tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki oleh subyek

4. Populasi Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah para dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo yang mengikuti kegiatan panembromo dan yang tidak mengikuti kegiatan panembromo. Jumlah yang mengikuti panembromo 40 orang dan yang tidak mengikuti juga 40 orang.


5. Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan angket dan wawancara. Wawancara dilakukan kepada para dosen, karyawan, dan mahasiswa yang mengikuti panembromo. Metode yang kedua adalah angket. Angket dalam penelitian ini diberikan kepada dosen, karyawan dan mahasiswa yang mengikuti panembromo dan yang yang tidak mengikuti panembromo. Penggunaan metode angket ini dianggap mempunyai keuntungan sebagi pengumpul data yang baik. Menurut Hadi (1989) angket dapat menjadi alat pengumpul data yang baik karena anggapan peneliti dalam menggunakan metode ini adalah:
a. Subyek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri
b. Apa yang dinyatakan subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya
c. Interpretasi subyek tentang pertanyaan yang diajukan adalah sama dengan yang dimaksudkan oleh peneliti
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecerdasan emosi. Skala disusun berdasarkan konsep kecerdasan emosi yang dibuat oleh Goleman (2000), yang terdiri dari lima komponen yakni: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membangun hubungan. Skala kecerdasan emosi dalam penelitian ini, menggunakan model skala Likert yang terdiri dari 5 alternatif jawaban, yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Ragu-ragu (R),Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Dalam skala ini ada 2 item pernyataan yaitu Favourable dan Unfavourable. Skor setiap item skala kecerdasan emosi berkisar antara 1 sampai 5 .Makin tinggi skor yang diperoleh subyek, makin tinggi kecerdasan emosinya. Sebaliknya makin rendah skor yang diperoleh subyek, makin rendah pula kecerdasan emosinya. Untuk mempermudah dalam prenyusunan skala kecerdasan emosi maka terlebih dahulu dibuat tabel kisi-kisi item skala kecerdasan emosi



Kisi – Kisi Item Skala Kecerdasan Emosi
Jumlah Item Nomor Item Indikator No
Unfavourable Favourable
12 6,16,26,36,46,56 1,11,21,31,41,51 Mengenali Emosi Diri 1
12 7,17,27,37,47,57 2,12,22,32,42,52 Mengelola Emosi 2
12 8,18,28,38,48,58 3,13,23,33,43,53 Memotivasi Diri Sendiri 3
12 9,19,29,39,49,59 4,14,24,34,44,54 Mengenali Emosi Orang Lain 4
12 10,20,30,40,50,60 5,15,25,35,45,55 Membangun Hubungan 5
60 30 30 Jumlah


6. Analisis Data.
Teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah t test dengan SPSS for Windows 12 dan analisis deskriptif.

G. Sistematika Pembahasan
BAB. I : Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
D. Landasan teori
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan


BAB. II : Landasan teori
A. Dakwah dan Seni Karawitan
1. Pengertian Dakwah
2. Unsur-unsur Dakwah
3. Metode Dakwah
4. Media Dakwah
5. Efek Dakwah
B. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
2. Komponen Kecerdasan Emosi
C. Hipotesis

BAB. III : Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Variabel Penelitian
3. Definisi Operasional Variabel Penelitian
4. Populasi Penelitian
5. Teknik Pengambilan Data
6. Analisis Data
BAB. IV : Pembahasan Hasil Penelitian
1. Dekripsi Data
2. Urain hasil uji hipotesis

BAB. V : Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran-saran

H. PENUTUP
Demikian proposal penelitian ini kami ajukan untuk mendapatkan bantuan DIPA PNBP IAIN Wali Songo Semarang Tahun 2009.





Semarang, 03 Juni 2009
Tim Peneliti
Ketua


Dra. Hj. Umul Baroroh, M.Ag
















DAFTAR PUSTAKA
Ali Aziz,Mohammad. 2004. Ilmu Dakwah, Jakarta: Prenada Media
Agustian, Ary Ginanjar, 2002. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual ESQ Berdasarkan Rukun Islam dan Rukun Iman, Jakarta: Arga
Basit, Abdul, 2006. Wacana Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Basori, Rohman, 2003. “ Konsep Emosional Intelligence dalam Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal Study Islam, Vol. 3 No 1 Februari 2003, Program Paska Sarjana IAIN Wali Songo Semarang.
Goleman. D. 2000. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Utama
Hadi, Sutrisno, 1991. Metodologi Research, Jilid II, Yogyakarta: Andi Ofset
Hazrat Inayat Khan, 2002. Dimensi Mistik,Yogyakarta: Pustaka Sufi Musik dan Bunyi:14).
Mc. Cormack, Martin, 2006 Ukurlah EQ anda terj. Bahrul Umam, Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Moh. Zuhri, “Visi, Missi dan Arah Kerja Alumni Fakultas Dakwah” (makalah), disampaikan pada Sarasehan Nasional Dekan Fakultas Dakwah IAIN se-Indonesia, di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, tanggal 6-7 September 2002.
Said Tuhulele, “Format, Tata Kerja dan Eksistensi Laboratorium Dakwah dalam Perspektif Perguruan Tinggi” (makalah), disampaikan dalam Lokakarya Nasional Rekonstruksi Kurikulum Program Studi dan Pemberdayaan Laboratorium Dakwah Fakultas IAIN Menuju Realitas Akademik dan Profesi, Semarang, 24-28 Januari 2000
Sanwar, M Aminuddin, Ilmu Dakwah, Jakarta: Gunung Agung (Proses Cetak Penerbit)
Segel, Jeanne, 2000. Meningkatkan Kecerdasan Emosional Pedoman Praktis Program uNtuk Memperkuat Naluri dan Emosi anda, terj, Dian Paramesti Baha, jakarta: Citra Aksara.
Suharsono, 2002. Melejitkan IQ, IE, IS, Jakarta: Inisiasi Press
Sukidi, 2002. Kecerdasan Spiritual Mengapa SQ Lebih Penting Daripada IQ dan EQ, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sulthon, Muhammad, 2003. Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Supena, Ilyas 2007, Filsafat Ilmu Dakwah Perspektif Filsafat Ilmu Sosial
Stein, Steven J dan Book, Howord E, 2003.Ledakan EQ 15 Kecerdasan Emosional Meraih Sukses, Bandung: Kaifa (2000: 33-4)
Umar, Nasaruddin, 2000. Kecerdasn Spiritual dalam Qur’an, Jurnal Ilmiah maddina Vol. 4 No. 5 Desember, Bengkulu
Yudiani, Ema, 2005. Hubungan Kecerdasan Emosi dan Masa Kerja dengan Penjualan Adaptif, dalam Psikologika Nomor 19 tahun X Januari 2005
http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html
http://www.skripsizone.com/humaniora/dakwah
http: //bk. Stkip-Pontianak –web .com
http://www/ 88DB.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar