Senin, 24 Mei 2010

Strategi Dakwah Kultural

Strategi Dakwah Kultural
Menyadari perkembangan dakwah Persyarikatan yang cenderung stagnan, Muhammadiyah merasa perlu mengubah metode dan strategi berdakwah dengan lebih mengakomodasi kultur. Dengan menekankan metode dan strategi dakwah yang bercorak kultural, Muhammadiyah menginginkan agar adat, tradisi, dan budaya lokal dipelajari, dikuasai, dan dijadikan wawasan sebagai bekal berdakwah. Namun demikian, bukan berarti warga Muhammadiyah harus larut dalam adat, tradisi, dan budaya lokal, yang mungkin saja dapat menghilangkan daya kekritisannya. Sebab, betapapun Muhammadiyah harus tetap memberikan sikap yang tegas terhadap budaya lokal.
Berkaitan dengan sikap Muhammadiyah terhadap adat, tradisi, dan budaya lokal, kiranya KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dapat dijadikan teladan. Seperti diketahui, KH Ahmad Dahlan telah bersikap sangat tegas sekaligus akomodatif terhadap budaya lokal. Misalnya, beliau telah meluruskan arah kiblat Masjid Keraton Yogyakarta, mengadakan shalat ‘idain (‘id fitri dan ‘id adlha) di lapangan terbuka, penyampaian khutbah dengan bahasa lokal, dan membentuk badan amil zakat yang sebelumnya merupakan hak prerogatif kyai. Justru karena ketegasan beliau dalam meluruskan pemahaman agama disertai pengembangan berbagai amal usaha itulah, Muhammadiyah telah berkembang pesat. Pada konteks inilah, tampaknya dakwah kultural Muhammadiyah harus dipahami sebagai upaya untuk mengubah budaya lokal, khususnya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, menjadi kultur yang sarat dengan nilai-nilai Islam.
Strategi dakwah kultural Muhammadiyah menuntut adanya kreativitas warganya ketika berhadapan dengan adat, tradisi, dan budaya lokal. Di sinilah arti penting pemahaman yang komprehensif bagi warga Muhammadiyah terhadap ajaran Islam mengenai seni dan budaya. Sebab, rasa seni sebagai penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah swt yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai jiwa ajaran Islam. Berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Tarjih ke-22 tahun 1995 telah ditetapkan bahwa karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (bahaya), ‘ishyan (kedurhakaan), dan ba‘id ‘anillah (terjauhkan dari Allah). Dengan ketentuan tersebut berarti warga Muhammadiyah semestinya tidak boleh anti pati terhadap budaya lokal.
Dakwah kultural Muhammadiyah juga harus menempatkan kelompok abangan, sinkretis, tradisionalis, dan modernis sebagai sasaran dakwah. Muhammadiyah harus menganggap kelompok-kelompok tersebut sebagai capaian keberagamaan seseorang. Keberagamaan (derajat ke-Islaman) seseorang harus dipandang sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai karena melibatkan pergumulan ideologi, sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dengan demikian, kelompok abangan dapat dipandang sebagai komunitas yang sedang berproses menjadi Muslim sejati. Karena itulah misi dakwah Islam harus disajikan menurut takaran kelompok keberagamaan di masyarakat (bi qadri ‘uqulihim). Dakwah juga harus dikemas dengan taysir (mudah) dan tabsyir (menggembirakan). Jika dakwah yag dilakukan mubaligh Muhammadiyah dikembangan dengan cara tersebut, maka dengan sendirinya Muhammadiyah akan dapat menjadi rumah bagi siapa pun. Dengan kata lain, Muhammadiyah akan dapat menjadi tenda besar bagi kelompok abangan, sinkretis, dan tradisionalis. Selama ini kelompok-kelompok tersebut terasa kurang dapat menerima kemasan dakwah Muhammadiyah.

Prospek Dakwah Kultural
Dakwah kultural Muhammadiyah, seperti dikatakan Ahmad Syafii Maarif, dimaksudkan agar dakwah Muhammadiyah lebih lentur dan fleksibel. Itu artinya, bahwa selama ini Muhammadiyah memang sudah mengakomodasi budaya lokal, hanya saja pada tingkat tertentu dirasakan masih kurang serius. Apalagi Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dikenal memiliki amal usaha yang sangat banyak. Tentu saja, berbagai amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah tersebut akan dapat dijadikan sebagai media berdakwah.
Namun demikian, optimisme beberapa kalangan terhadap prospek dakwah kultural harus juga disertai rasa kewaspadaan terhadap beberapa persoalan yang mungkin dapat menghambat. Beberapa hal yang kira-kira dapat dijadikan hambatan pengembangan dan implementasi dakwah kultural adalah; pertama, selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial-keagamaan yang sangat puritan dengan menempatkan motto kembali kepada al-Quran dan Hadits.
Tentu saja, dalam sudut pandang dakwah kultural, motto tersebut mungkin akan diartikulasikan secara berlebihan dalam memandang adat, tradisi, dan budaya lokal. Kedua, masih kuatnya resistensi di internal tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam menyikapi adat, tradisi, dan budaya lokal yang sinkretis. Dalam hal ini, secara jujur harus diakui bahwa di kalangan Muhammadiyah, tema dakwah menghapus TBC masih sangat dominan.
Di sinilah arti pentingnya dakwah kultural Muhammadiyah harus mampu menyajikan beragam model dakwah yang berbeda bagi setiap kelompok masyarakat. Model dakwah anti TBC barangkali sangat relevan bagi aktivis Muhammadiyah, namun dapat dipandang kurang cocok dengan kalangan Islam abangan dan sinkretis. Ketiga, sejauh ini Muhammadiyah belum memiliki media yang cukup memadai untuk mengembangkan dakwah kultural, khususnya yang berkaitan dengan seni dan budaya. Bahkan secara guyonan dapat dikatakan bahwa satu-satunya seni yang dimiliki Muhammadiyah adalah seni bela diri Tapak Suci.
Beberapa catatan tersebut tentu harus dicarikan solusi, jika Muhammadiyah berkeinginan mengimplementasikan gagasan dakwah kultural. Untuk memulai usaha tersebut kiranya diperlukan pedoman operasional yang dapat dijadikan rujukan warga persyarikatan. Di samping itu, juru dakwah (mubaligh) Muhammadiyah juga harus diberikan wawasan agar mampu melihat kultur dan budaya lokal dari sisi dalam (from within), bukan dari sisi luarnya.
Dengan perspektif semacam ini berarti mubaligh Muhammadiyah dapat terbebas dari beban psikologis jika harus menjadikan kultur dan budaya lokal sebagai media berdakwah. Jika usaha ini terus dikembangkan maka tidak tertutup kemungkinan lahir mubaligh Muhammadiyah yang lebih menekankan pentingnya kearifan lokal (local wisdom). Maka, menjadi menarik dilihat bagaimana Muhammadiyah dan warga persyarikatan mengkreasi gagasan dakwah kultural.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar